Pemerintah perlu mengoptimalkan besarnya potensi belanja UMKM di dalam negeri dan jangan sampai ceruk peluang dari UMKM tersebut dikuasai produk asing atau alias barang impor.

JAKARTA - Potensi belanja produk-produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di dalam negeri sangat besar yang ditaksir mencapai 2.000 triliun rupiah per tahun. Potensi tersebut mencakup belanja mulai dari BUMN, pemerintah, hingga Ibu Kota Nusantara (IKN).

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, memperkirakan belanja BUMN untuk membeli produk UMKM sekitar 500 triliun rupiah. Selain itu, lanjutnya, belanja IKN, pemerintah, dan usaha besar secara berurutan ditaksir mencapai 400 triliun rupiah, 500 triliun rupiah, serta 400 triliun rupiah.

"Besarnya potensi belanja UMKM dari dalam negeri akan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera dipotensikan belanja produk UMKM agar realisasinya bisa maksimal," ujar MenKopUKM Teten pada acara INABUYER B2B2G EXPO 2023 di Gedung Smesco Jakarta, Rabu (5/7).

Jika seluruh lembaga yang disebutnya di atas mampu memaksimalkan penyerapan produk buatan dalam negeri, Menteri Teten meyakini Indonesia masih mampu bertahan di tengah situasi pelemahan ekonomi dunia. "Ekonomi dalam negeri terutama belanja pemerintah, belanja BUMN termasuk konsumsi masyarakat, kalau beli produk UMKM, (pertumbuhan) ekonomi kita bisa 5 persen. Dengan begitu, kita bisa menghadapi ekonomi global yang lesu," ucapnya.

Lebih lanjut, Teten menuturkan penting bagi UMKM untuk masuk ke rantai pasok industri agar lebih memudahkan pelaku UMKM mengakses pembiayaan karena telah mempunyai kepastian pasar. Jika pasar UMKM telah jelas, perbankan pun disebutnya akan lebih mudah untuk memberikan pembiayaan kepada UMKM.

Sayangnya, hingga saat ini baru sekitar 7 persen UMKM masuk ke rantai pasok industri besar. "Sebagian UMKM kita masih memasarkan mandiri, branding sendiri, ke depan kita harap UMKM jadi bagian dari rantai pasok industri. Sehingga UMKM itu bisa tumbuh berkembang juga bersamaan dengan tumbuh berkembangnya industri itu sendiri," tuturnya.

Standardisasi Produk

Sebelumnya, Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, menyatakan standardisasi produk dan keberlanjutan produksi menjadi kunci bagi UMKM menembus pasar ekspor, terutama di kawasan Asean. Peneliti senior PPKE FEB Universitas Brawijaya, Joko Budi Santoso, mengatakan standardisasi produk dan keberlanjutan produksi khususnya terkait kapasitas dan ketersediaan bahan baku perlu menjadi perhatian utama.

"Kompetisi produk-produk UMKM untuk menembus pasar luar negeri, khususnya Asean semakin kompetitif. Standardisasi produk dan keberlanjutan produksi menjadi isu utama untuk menembus pasar Asean," kata Joko Budi.

Menurutnya, upaya yang perlu dilakukan pemerintah antara lain adalah memperkuat pelatihan dan pendampingan secara berkesinambungan kepada pelaku UMKM yang memiliki potensi produk menjanjikan untuk pasar ekspor.

Berdasarkan data Kemenkop UKM, pada 2021 kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 60,51 persen atau sekitar 9.580 triliun rupiah dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 97 persen atau sebanyak 120,59 juta orang. Saat ini, partisipasi UMKM Indonesia dalam Global Value Chain (GVC) baru mencapai 4,1 persen dari jumlah unit usaha atau masih tertinggal dengan sejumlah negara tetangga seperti Malaysia yang sebesar 46,2 persen, Thailand 29,6 persen, Vietnam 20,1 persen, dan Filipina 21,4 persen.

Karena itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah terus memfasilitasi UMKM untuk go global dengan melakukan ekspor.

"Pemerintah menyediakan fasilitas bagi UMKM untuk melakukan ekspor, seperti fasilitas pembiayaan dengan bunga yang rendah yakni Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta berbagai insentif fiskal bagi pelaku usaha yang berorientasi ekspor," kata Airlangga.

Baca Juga: