Pemanfaatan energi terbarukan berbasis komunitas mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang.

JAKARTA - Energi terbarukan berbasis komunitas dinilai mampu menciptakan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 10.529 triliun rupiah selama kurun waktu 25 tahun. Efek positif yang dihasilkannya sejalan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi secara lebih berkualitas.

Ekonom dan Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengungkapkan dampak positif energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang.

"Dari sisi ketenagakerjaan, terdapat peluang kesempatan kerja sebesar 96 juta orang di berbagai sektor tidak sebatas pada energi, namun industri pengolahan dan perdagangan juga ikut terungkit," ungkap Bhima saat menyampaikan laporan berjudul Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas di Jakarta, Senin (20/5).

Dipaparkannya, ketika pemerintah sedang mencari cara agar tingkat pengangguran bisa turun di daerah, maka pengembangan energi berbasis komunitas jadi salah satu jalan keluarnya. Sementara itu peluang pendanaan energi terbarukan berbasis komunitas bisa berasal dari komitmen JETP (Just Energy Transition Partnership).

"Jika 50 persen dana JETP yang sebesar 20 miliar dollar AS dialokasikan untuk mengembangkan energi terbarukan skala komunitas maka dapat menghasilkan kapasitas 2,18 gigawatt (GW)," ungkap Bhima.

"Itu berarti pembangkit energi terbarukan setidaknya mampu menggantikan 3,3 unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) setara Cirebon-1 yang memiliki kapasitas 660 MW," imbuhnya.

Bukan hanya itu, lanjut Bhima, kajian ini dapat membuka mata para pengambil kebijakan di negeri ini untuk segera menggeser kebijakan transisi energi yang selama ini hanya berfokus pada pembangkit skala besar yang justru rentan menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup bagi masyarakat lokal.

"Sebaliknya, pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas justru mampu berdampak pada penurunan ketimpangan antar wilayah selama 20 tahun implementasi dari 0,74 ke 0,71. Karena sifatnya lebih inklusif energi berbasis komunitas sangat cocok diterapkan di Indonesia," ucapnya.

Laporan ini merupakan hasil studi 350.org dan Celios meluncurkan studi interim. Indonesia team lead 350.org Firdaus Cahyadi mengungkapkan selama ini kebijakan transisi energi di Indonesia didominasi narasi tunggal yang bias pada pengembangan energi terbarukan skala besar.

"Narasi tunggal itu terasa sekali dalam dokumen CIPP (Comprehensive Investment and Policy Plan) JETP yang diluncurkan pada November 2023," katanya.

Narasi tunggal itu, menurut Firdaus Cahyadi, tidak bisa dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga bisnis bantuan internasional seperti GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero), ADB dan World Bank.

"Pengembangan energi terbarukan skala besar menjadi jalan untuk membuat jebakan utang luar negeri dalam skema pendanaan JETP," tegasnya.

Diversifikasi Energi

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menegaskan untuk mewujudkan net zero emission (NZE), pemerintah akan mendorong diversifikasi energi dengan mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber energi terbarukan.

"Kami yakin bahwa kami dapat mencapai target dan melaksanakan peta jalan, meskipun terdapat beberapa tantangan,"ujar Arifin dalam Forum dialog yang diselenggarakan oleh Tri Hita Karana bersama dengan World Economic Forum, Minggu (19/5).

Diversifikasi energi adalah kunci untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060. Dengan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, target ini dapat tercapai dan Indonesia dapat beralih ke masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Baca Juga: