Penguatan kolaborasi sektor swasta dan pembiayaan hijau yang kreatif dan inovatif diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

JAKARTA - Ekonomi hijau mampu menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di Indonesia. Untuk mengoptimalkan diperlukan kolaborasi para pemangku kepentingan atau stakeholder.

"Fundamental yang baik ini menjadi modal bagi Indonesia untuk mendorong ekonomi hijau sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di masa depan," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto saat memberikan keynote speech secara virtual dalam Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) 2023 di Jakarta, Selasa (26/9).

Dia menjelaskan Indonesia telah meningkatkan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) target penurunan emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri, dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.

Enhanced NDC diselaraskan dengan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 serta visi untuk mencapai net zero emissions pada 2060.

Pencapaian visi tersebut memerlukan kolaborasi yang kuat oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) dan diperlukan peningkatan akses terhadap solusi keuangan dan teknologi. Karena itu, Indonesia memperkuat kolaborasi sektor swasta dan mendorong pembiayaan yang kreatif dan inovatif dengan membentuk Sovereign Wealth Fund - INA, Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dan SDG Indonesia One untuk meraih dan membuka proyek investasi, terutama di sektor energi, pertanian, transportasi, dan lingkungan hidup.

Sementara itu, Menko Airlangga menilai APBN juga memprioritaskan proyek-proyek untuk mengatasi perubahan iklim dan mendorong kegiatan ramah iklim. Untuk memastikannya pemerintah menerapkan mekanisme Climate Budget Tagging di tingkat nasional dan daerah yang mampu melacak alokasi anggaran perubahan iklim, serta menyajikan data kegiatan dan hasilnya.

Indonesia juga telah mengeluarkan kebijakan penetapan harga karbon melalui perdagangan karbon dan pajak karbon melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.

"Tadi pagi Presiden Joko Widodo meluncurkan Bursa Karbon Indonesia yang diawasi oleh OJK melalui Bursa Efek Indonesia dan ini merupakan terobosan bagi bursa karbon yang sifatnya voluntarily," tutur Menko Airlangga.

Indonesia memperkenalkan insentif sisi permintaan untuk mempercepat sektor energi baru dan terbarukan serta ramah lingkungan, diantaranya yakni, Peraturan Pajak Penjualan Barang Mewah Kendaraan Listrik untuk mendongkrak permintaan kendaraan listrik, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (BEV) Untuk Transportasi Jalan untuk memperkuat insentif fiskal dan non-fiskal, serta program mandatori B35 yang bermanfat untuk menghemat, menjaga stabilitas harga komoditas sawit, meningkatkan nilai tambah, sekaligus mengurangi emisi karbon.

Tidak hanya di level nasional, Indonesia mendorong secara regional di mana pada Kepemimpinan Indonesia untuk Asean 2023 telah menyepakati untuk membangun Ekosistem Kendaraan Listrik dan juga mengembangkan Asean Carbon Neutrality.

Potensi Investasi

Sementara itu, potensi investasi berkelanjutan di Indonesia masih terbuka lebar. Karenanya, untuk mengoptimalkannya dibutuhkan akses ke sumber pendanaan termasuk investasi, baik dari dana publik maupun swasta.

"Investasi berkelanjutan di Indonesia terus meningkat," kata Presiden Direktur PT BNP Paribas Asset Management Priyo Santoso dalam keterangan di Jakarta, Rabu (27/9).

Direktur Operasi dan Keuangan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Darwin Trisna Djajawinata mengatakan untuk mengawal investasi hijau di Indonesia, special purpose vehicle ini harus menekankan pada aspek edukasi dalam pendanaan proyek.

Baca Juga: