Dana tak terduga di setiap APBD bisa menyasar untuk kelancaran distribusi barang, intervensi harga pasar, serta pemberian subsidi pada barang yang dijual di tengah masyarakat.

JAKARTA - Pengendalian inflasi secara nasional butuh dukungan dari daerah. Karena itu, peran daerah sangat diharapkan untuk mengendalikan inflasi tinggi saat ini, terutama melalui optimalisasi pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ASPBD).

Akademisi Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Eddy Suratman, menilai dana tak terduga daerah yang berada di APBD bisa bermanfaat untuk membantu mengendalikan dan menekan laju inflasi. Menurut dia, dana tak terduga ini dapat membantu stabilitas harga pangan agar tidak terlampau tinggi dan terjangkau oleh masyarakat sehingga laju inflasi dapat lebih terkendali.

"Inflasi ini juga dialami kondisi global. Contoh di Inggris dalam 40 tahun terakhir saat ini tertinggi begitu juga Eropa dan lainnya. Jadi, apa yang disampaikan Presiden untuk mendorong daerah menggunakan dana tak terduga sangat strategis," ujarnya, seperti dikutip dari Antara, Minggu (21/8).

Karena itu, Eddy memastikan dana tak terduga di setiap APBD daerah bisa menyasar untuk kelancaran distribusi barang. Kemudian di titik tertentu, bisa dimanfaatkan untuk mengadakan pasar murah guna mencegah harga tidak terkendali.

"Bahkan bisa juga memberikan subsidi pada barang yang dijual di tengah masyarakat. Contoh, kalau beras tinggi bisa disubsidi melalui Bulog. Harga tetap dijual normal karena ada subsidi," jelas dia.

Dia juga menyebutkan inflasi nasional saat ini sudah di atas 4 persen, atau sedikit diatas sasaran 3 persen plus minus 1 persen. Kondisi serupa juga mulai terjadi di daerah-daerah lainnya. Dia menekankan agar inflasi terkendali pastikan ketersediaan barang harus dijamin. Kemudian, distribusi barang ke setiap daerah lancar dan pengusaha tidak bermain untuk menumpuk barang dan memanfaatkan kondisi.

"Pengawasan oleh aparat terhadap berbagai hal di atas patut dilakukan agar semua berjalan normal," kata Eddy.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masing-masing kepala daerah dengan inflasi tertinggi untuk mencermati secara detil penyebabnya sehingga tingkat inflasi dapat turun hingga ke level 5 persen. Dalam sambutannya pada pembukaan Rakornas Pengendalian Inflasi 2022 di Istana Merdeka, Jakarta, pekan lalu, Presiden Jokowi merinci kelima provinsi dengan tingkat inflasi tertinggi yakni Jambi berada di 8,55 persen; Sumatra Barat 8,01 persen; Bangka Belitung 7,77 persen, Riau 7,04 persen, dan Aceh 6,97 persen.

"Tolong ini dilihat secara detil yang menyebabkan ini apa agar kita bisa selesaikan bersama dan bisa turun lagi di bawah 5 persen, syukur bisa di bawah 3 persen," kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta.

Sinergi "Stakeholder"

Presiden Jokowi memerintahkan agar kepala daerah tingkat kota hingga provinsi dapat mencermati penyebab inflasi yang saat ini menjadi momok di semua negara di tengah krisis pangan. Menurut Kepala Negara, kepala daerah harus bekerja sama dengan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) dan Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) untuk selalu mencari tahu komoditas pangan yang menyebabkan inflasi.

Dengan koordinasi tersebut, katanya, komoditas yang berlimpah di satu daerah dapat didistribusikan ke daerah yang sedang mengalami kenaikan harga.

Dalam kesempatan sama, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menyampaikan inflasi pada Juli 2022 telah mencapai 4,94 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy) atau masih lebih rendah dari negara lain, tetapi melebihi dari batas atas sasaran tiga persen plus minus satu persen. Peningkatan tersebut terutama disebabkan tingginya inflasi kelompok pangan bergejolak mencapai 11,47 persen (yoy), yang seharusnya tidak lebih dari lima persen atau maksimal enam persen.

Baca Juga: