Optimalisasi pemanfaatan dana desa perlu didorong agar dapat memacu pemulihan ekonomi nasional dari dampak pandemi Covid-19.

JAKARTA - Pemanfaatan dana desa dinilai berhasil menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran di desa, terutama selama pandemi. Sayangnya, pemanfaatan dana desa sampai saat ini belum optimal.

"Kenaikan angka kemiskinan dan pengangguran di desa lebih rendah dibanding yang ada di kota, ini karena adanya dana desa," kata Peneliti Muda Pusat Riset Ekonomi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pihri Buhaerah dalam Media Briefing Outlook Perekonomian Indonesia 2022 secara daring di Jakarta, Kamis (23/12).

BRIN mencatat total dana desa pada 2015-2021 mencapai 400,1 triliun rupiah. Adapun pada 2016, jumlah desa tercatat 82.395 yang kemudian meningkat menjadi 83.381.

Kendati demikian, Pihri berharap dana desa bisa dikelola dengan lebih baik lagi mengingat masih terdapat beberapa masalah yang menghambat, seperti rentan penyalahgunaan wewenang dan finansial dan inisiasi program desa yang tidak terakomodasi dalam musrembangnas.

Kemudian, terdapat pula masalah mengenai dominasi elit desa dalam pengelolaan dana desa, hingga badan usaha milik desa (BUMDes) yang belum optimal dalam menerapkan prinsip kewirausahaan dan manajemen usaha yang baik. Karenanya, dia berpendapat dana desa perlu dibantu dengan tata kelola pembangunan desa yang menempatkan proper governance maupun social inovation.

"Tanpa itu, rasanya desa tak bisa berkontribusi banyak dalam mendukung pertumbuhan ekonomi," tutup Pihri.

Seperti diketahui, serapan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sampai saat ini masih sangat rendah. Karenanya, pemulihan ekonomi nasional saat ini masih diliputi ketidakpastian.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, per November 2021, realisasi anggaran TKDD terkontraksi 4,9 persen dibandingkan periode sama tahun lalu atau year-on-year (yoy). Realisasi pada bulan ke-11 tahun ini baru mencapai 89,4 persen terhadap APBN atau senilai 711,0 triliun rupiah dari pagu 795,5 triliun rupiah.

Pelambatan serapan tersebut membuat Presiden Joko Widodo menegus pemerintah daerah (Pemda) pada Oktober lalu. Dia mencatat uang pemda yang masih mengendap di bank mencapai 226 triliun rupiah atau meningkat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya 170 triliun rupiah.

Percepat Penyaluran

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan pemerintah perlu mempercepat penyaluran belanja TKDD. Menurutnya, pemerintah pusat perlu memperkuat kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda) untuk mempercepat penyampaian laporan belanja pegawai. Hal ini dilakukan agar penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dapat dipercepat.

"Beberapa alasan lambatnya realisasi belanja TKDD di antaranya karena masalah administrasi yang perlu dipenuhi oleh pemda sebelum bisa menerima TKDD dari pusat," kata Yusuf.

Padahal, dengan mempercepat proses administrasi, pemerintah daerah juga bisa mulai mengajukan Dana Insentif Daerah untuk melengkapi belanja rutin daerah.

Menurut Yusuf, pemda harus membangun komunikasi dan koordinasi intensif dengan seluruh pihak, termasuk pemerintah pusat, agar pelaksanaan program atau kegiatan di daerah dapat terealisasi dengan baik. Pemda juga dapat memperkuat pengawasan belanja daerah dengan dibantu aparat eksternal seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Baca Juga: