Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi kerugian terbesar food loss atau susut pangan pasca panen di tengah ancaman ketahanan pangan global.

JAKARTA - Pemerintah terus mendorong penggunaan teknologi berupa alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam mengakselerasi produksi beras nasional. Upaya penerapan teknologi dalam sektor pertanian itu juga dimaksudkan untuk menekan kehilangan hasil pascapanen.

Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, mengatakan penggunaan alsintan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi berproduksi. "Kalau menggunakan teknologi, biaya turun 60 persen, produktivitas bisa dua kali lipat naik, losses-nya (kehilangan) 10 persen, dan 10,2 persen kita bisa ambil," ungkap Amran di Jakarta, Selasa (12/3).

Pada panen raya yang sudah mulai berlangsung di berbagai wilayah, Amran mengungkapkan pihaknya terus menggiatkan penggunaan alsintan. Salah satunya untuk menekan kehilangan hasil (food losses) saat panen.

"Kehilangan hasil saat panen bisa sangat besar bila tidak ditangani dengan baik," ujarnya.

Terdapat beberapa tahapan pascapanen, mulai dari pemanenan, perontokan, pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan, dan pemasaran. Titik kehilangan hasil terjadi pada tahapan pemanenan, penumpukan sementara panenan padi, dan perontokan untuk menghasilkan gabah.

Salah satu alsintan yang efektif untuk menekan kehilangan hasil adalah combine harvester yang mampu menekan losses hingga 1-2 persen. Mesin ini mampu memotong padi, merontokkan, dan membersihkan butiran gabah dari kotoran.

Inovasi Alat

Kepala Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP), Fadjry Djufry, mengungkapkan Kementan berinovasi menghasilkan Mini Combine Harverster (MICO) yang disesuaikan dengan lahan sawah Indonesia yang umumnya sempit dan berlumpur dalam. Ukuran panjangnya 260 cm, lebar 180 cm, dan tinggi 170 cm dengan bobot 800 kg. Dengan lebar kerja 1,2 meter dan kapasitas kerja mesin 7-9 jam per hektare (ha).

"Mini combine harvester dapat lebih mudah beroperasi dan bermanuver di petakan sawah yang tidak terlalu lebar," jelasnya.

Fadjry mengungkapkan teknologi alsintan tersebut telah dilisensi oleh perusahaan swasta, seperti PT Lambang Jaya, PT Adi Setia Utama Jaya, dan PT Sarandi Karya Nugraha. Artinya, mini combine harvester telah diproduksi untuk diadopsi oleh petani.

"Kami harapkan petani dapat menggunakan teknologi tepat guna, terutama untuk mengamankan hasil panen dari kehilangan hasil. Dengan demikian, hasil panen menjadi lebih optimal," katanya.

Seperti diketahui, potensi kerugian dari food loss atau susut pangan paska panen dan food waste atau susut pangan di meja makan saat ini menjadi isu besar di tengah ancaman ketahanan pangan global. Indonesia menjadi salah satu yang terbesar.

Kementan mencatat di Indonesia, tiap tahun sekitar 14 persen hilang setelah panen (food loss), sementara 17 persen hilang di meja makan (food waste). Dengan demikian, total kehilangan mencapai 31 persen atau senilai 550 triliun rupiah.

Menurut hasil penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2021, Indonesia membuang sampah makanan 23 juta ton-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 dengan taksiran kerugian ekonomi sebesar 213-551 triliun rupiah per tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia per tahun.

Baca Juga: