Pentingnya pembangunan dan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) bagi kemajuan organisasi, bangsa, dan negara sudah umum dipahami. Beberapa penelitian mengindikasikan tenaga kerja yang berkualitas pada suatu negara merupakan komponen penting untuk memenangkan persaingan global.
Para ahli menyatakan, tenaga kerja yang berkompeten merupakan aset paling penting suatu institusi atau bangsa. Pemerintah sangat peduli terhadap pembangunan kualitas SDM. Salah satunya melalui pendidikan berkesinambungan dan alokasi dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD.
Selain itu, banyak beasiswa tersedia untuk individu yang ingin melanjutkan studi, di antaranya program pemberdayaan dan pengembangan pegawai di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui program beasiswa Tugas Belajar (TB), baik dari LPDP, STAN, APBN maupun beasiswa negara lain, seperti Australia Awards Scholarship (AAS), Monbukagakusho, dan Fullbright.
Namun demikian, sangat disayangkan, ditengarai penggunaan dan pemanfaatan SDM di lingkungan PNS bagi pencapaian tujuan organisasi belum optimal. Beberapa indikasinya antara lain ketidaksesuaian penempatan pegawai dan ketiadaan jenjang karier yang jelas.
Berdasarkan survei tahun 2018 oleh Australia Awards Indonesia, hanya 60 persen orang Indonesia lulusan Australia mendapat posisi manajerial lebih tinggi pascapulang sekolah. Ada tidak sinkron pengembangan pegawai dan kebutuhan institusi. Kemudian, belum banyak birokrat yang menilai penelitian (evidence based) itu penting dalam penyusunan peraturan. Mereka lebih membutuhkan pegawai administratif atau keterampilan tertentu.
Hal ini mengakibatkan pegawai pendidikan tinggi kurang optimal diberdayakan (idle capacity). Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi era SBY, Yuddy Chrisnandi, menyatakan, jumlah ASN sekitar 4,5 juta. Tapi yang bergelar doktor hanya sekitar 2 persen atau 90.000. Tahun 2019 ditargetkan ada 5 persen doktor.
Taruhlah target tahun 2019 ini tercapai, maka jumlah ASN bergelar doktor sekitar 225.000. Apakah mereka telah diberdayakan sesuai dengan keilmuannya. Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Hanif Dhakiri, menyebutkan 63 persen pekerja menempati jabatan tidak sesuai dengan bidang pendidikan. Hal ini harus segera diatasi karena jika dibiarkan akan menurunkan produktivitas.
Akibatnya, penambahan beban pengeluaran. Kejadian miss-match semacam itu menimbulkan opportunity cost yang tidak sedikit baik dari sisi waktu, upaya, maupun dana. Ilmu yang telah dipelajari bertahun-tahun tidak terpakai secara optimal. Tanggal 31 Agustus 2018, KPK menemukan penempatan tenaga yang tidak sesuai dengan keahlian oleh pemerintah kabupaten (Pemkab) Timor Tengah Selatan (TTS).
Misalnya, sarjana pertanian ditempatkan di rumah sakit umum daerah (RSUD) Soe. Ada juga sarjana agama ditaruh di dinas kesehatan. Selanjutnya, berdasarkan karya tulis Arifin (2017) pada Simposium Pendidikan Tema Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Pendidikan Nasional Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanggal 7 Desember 2017 di Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR, diinformasikan bahwa dari 230.633 dosen, hanya 26.199 (11 persen) bergelar doctor.
Kemudian 134.522 (58 persen) bergelar magister. Kebutuhan ideal dosen S2 dan S3 dengan mahasiswa adalah 1:15 atau 1:20. Dengan jumlah mahasiswa 5.896.419 (BPS, 2017), diperlukan paling tidak 300.000 dosen bergelar magister dan doktor. Lebih lanjut, Arifin menjelaskan Indonesia hanya memiliki 9.200 peneliti.
Artinya, 40 peneliti untuk satu juta penduduk. Malaysia memiliki 1.600 peneliti persejuta penduduk. Korea Selatan 8.000 peneliti persejuta penduduk. Target Indonesia untuk memiliki 8.000 peneliti persejuta penduduk tahun 2045 masih jauh untuk dicapai. Selain bidang akademik, terdapat pekerjaan yang membutuhkan individu dengan kemampuan penelitian. Misalnya, analis kebijakan.
Saat ini jumlah analis kebijakan masih sedikit (6 persen). Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 2019 mencatat, sekitar 360 analis kebijakan aktif dari target 6.000 Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK) tahun 2020.
Belum Lihat
Ini terjadi karena pemerintah belum melihat manfaat hasil riset bagi penyusunan kebijakan. Seperti yang disampaikan Prof Rovina Ruslami, peneliti dari Universitas Padjadjaran. Dia menyoroti pentingnya kolaborasi antara peneliti dan pemerintah. Rovina melihat masih sedikit birokrat yang menggunakan hasil penelitian untuk diadopsi oleh pemangku kebijakan.
Kemungkinan banyak yang masih berpikir tanpa mengikuti rekomendasi hasil penelitian, pekerjaan sehari-hari masih berjalan secara normal. Hal ini mungkin menjadi salah satu sebab banyak institusi tidak menganggap penting penelitian diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari. Akibatnya, PNS berpendidikan tinggi tidak terlalu diberdayakan
Namun tidak semua birokrat berpikir demikian. Salah satunya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Dalam salah satu acara dia menegaskan, perlunya seluruh regulasi di Kemenkeu dievaluasi dengan melibatkan akademisi untuk melakukan penelitian. Sehingga diharapkan formulasi dari kebijakan-kebijakan Kemenkeu selalu memiliki landasan berbasis akademis.
Semoga saja institusi lain juga melibatkan akademisi. Apabila suatu institusi memang tidak lagi membutuhkan pegawai berpendidikan tinggi dapat membuka kerja sama antarkementerian/lembaga untuk transfer pegawai sesuai dengan kebutuhan. Jangan sampai investasi negara donor penyedia beasiswa untuk pendidikan PNS kurang dioptimalkan oleh institusi ketika pulang sekolah.
Jangan sampai penguatan SDM di era milenium ini hanya menjadi slogan pemerintah. Daniel Lumban Tobing, Jubir PDIP, mengingatkan, jangan sampai slogan penguatan SDM oleh pemerintah hanya akan menjadi wacana, tanpa tindakan nyata, terarah, dan terukur.
Penulis: DRBitra Suyatno, Doktor Administrasi Bisnis dari Victoria University, Melbourne