Setiap rupiah yang dialokasikan melalui APBN/APBD bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, melainkan representasi kepercayaan publik dan harapan masyarakat atas peningkatan kualitas hidup mereka.
JAKARTA - Entitas dalam pengelolaan keuangan negara dinilai tak cukup hanya memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) saja. Namun, hal itu harus diikuti upaya mencapai kinerja terbaik dan tak korupsi serta mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Hal itu disampaikan Anggota I Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Nyoman Adhi Suryadnyana, dalam kuliah umum di hadapan para peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXVI Tahun 2024 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), Kamis (25/7).
Nyoman menambahkan, pada prinsipnya, setiap rupiah belanja uang negara harus bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. "Artinya, setiap rupiah yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, melainkan representasi kepercayaan publik dan harapan masyarakat atas peningkatan kualitas hidup mereka," ujarnya dikutip dari keterangan resmi BPK di Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, dia menyampaikan perihal akuntabilitas dan tata kelola keuangan negara yang baik menjadi modal penting mewujudkan Indonesia Emas 2045. Secara definisi, akuntabilitas anggaran adalah pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran yang telah ditetapkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Ada lima alasan urgensi penerapan akuntabilitas anggaran, yakni mencegah penyalahgunaan dana publik dan timbulnya fraud di sektor publik, lalu meningkatkan efisiensi penggunaan dana publik melalui pengawasan penggunaan sehingga dapat difokuskan untuk program-program yang memberikan manfaat lebih maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya, meningkatkan kualitas layanan publik melalui pengelolaan dana publik secara efektif dan efisien, meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah beserta lembaga pemerintah, hingga menghindari krisis keuangan.
Menurut Anggota I BPK, akuntabilitas keuangan negara terdiri dari tiga pilar, yakni standar akuntansi, pelaporan keuangan, dan pemeriksaan keuangan. Selain itu, bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD harus disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP).
Seperti diketahui, sejumlah entitas berhasil mendapatkan opini WTP atas LK 2023 dari BPK. Kejaksaan Agung (Kejagung) meraih opini WTP dari BPK RI ke-8 kali secara berturut-turut atas laporan keuangan Kejaksaan RI 2023.
"Karenanya, saya berharap pencapaian tersebut dapat terus berlanjut ke depannya sebagai salah satu komitmen Kejaksaan untuk menjadi institusi yang akuntabel di mata publik," kata Jaksa Agung ST Burhanuddin, Rabu (24/7).
Capaian serupa juga didapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan capaian WTP untuk kelima kalinya berturut-turut pada LK 2023. Begitu juga dengan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan capaian WTP untuk ketujuh kalinya berturut-turut.
Penurunan Opini
Namun, ada beberapa entitas tak mendaparkan opini WTP dalam LK 2023. Salah satunya, LK Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2023 diturunkan opininya menjadi Wajar Dengan Pengecualian dari sebelumnya memperoleh WTP pada 2022.
"Penurunan opini ini disebabkan oleh beberapa permasalahan material yang perlu menjadi perhatian Kementerian ESDM, di antaranya adalah kelemahan pengendalian intern dalam pengelolaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada aplikasi e-PNBP. Hal ini mengakibatkan perhitungan dan penetapan besaran nilai PNBP yang tidak akurat dan andal, serta potensi kebocoran PNBP," ujar Anggota IV BPK, Haerul Saleh.