Yakinkah APBN belum jebol?

Tampaknya pengurus negara harus memikirkan ulang keyakinannya dan selanjutnya ikut berfikir keras urun rembuk di meja bundar agar bagaimana supaya negara tidak collaps tahun ini. Para pengurus BUMN juga harus waspada karena BUMN adalah tumpuan untuk menghasilkan uang dan sekaligus tumpuan stabilitas ekonomi dan politik. Sementara rakyat kebanyakan harus lebih mengecangkan ikat pinggang karena boleh jaid akan semakin banyak beban yang akan ditaruh dipudak rakyat.

Coba perhatikan baru baru ini menteri ESDM telah melakukan penyesuaian tarif listrik. Penyesuaian ini adalah menaikkan tarif untuk golongan atas. Mengapa karena pemerintah sudah tidak kuat lagi membayar subsidi dan kompensasi listrik. Cerita kompensasi sangat rumit karena pembayaran kepada PLN selalu tertunda tiga tahun. Ini perkara berat. Dalam soal kompensasi PLN jadi korban.

Kebijakan meyesuaikan atau kenaikan tarif akan menjadi bumerang bagi PLN. Memang ini bisa mengurangi beban kompensasi. Tetapi bisa mengakibatkan penjualan listrik menurun. Kalau ini terus berlangsung maka over supply akan berlanjut. Listrik PLN yang tidak terjual akan makin besar. Listrik yang dibeli PLN dari pihak swasta akan terbuang percuma. Ini juga berpotensi membuat PLN akan jadi korban.

Namun masalah jebolnya anggaran subsidi dan anggaran kompensasi listrik akan ditebus dengan membebani masyarakat. Baru baru ini bersamaan dengan penyesuaian tarif PLN awal juli lalu, sebelumnya pemerintah sudah menerapkan dua kebijakan penting yang berakibat tambahan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk memperoleh listrik yakni :

Pertama, pengenaan pajak karbon mulai 1 Juli 2022 dengan tarif minimal sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atas emisi karbon. Ini akan menjadi tarif yang diberlakukan dalam harga listrik. Pajak karbon ini sudah pasti akan membuat masyarakat kebanyakan disedot uangnya.

Kedua, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) antara lain menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 11% yang berlaku sejak 1 April 2022 dan 12% berlaku paling lambat 1 Januari 2025. UU ini akan meningkatkan pajak yang harus dibayarkan dalam tarif listrik dan barang konsumsi lainnya. Ini juga masyarakat jadi korban.

Tidak cukup sampai disana kebijakan untuk mengatasi jebolnya APBN. Baru baru ini pemerintah menghapuskan kebijakan DMO batubara. Berarti harga DMO dihapuskan dan kuota DMO juga dihapuskan. Batubara akan difokuskan untuk pasar ekspor. Karena harganya selangit. Hasil batubara bisaembuat oligarki yang menguasai benar benar power full dalam perpolitikan Indonesia.

Katanya Batubara akan dikenakan pungutan ekspor, mengikuti pola pengaturan sawit. Berarti akan ada lembaga pemungut bea keluar ekspor batubara. Memang cukup besar hasil yang akan diperoleh APBN dengan pungutan ekspor ini. Bayangkan jika harga Batubara per ton 300 dolar, maka 650 juta ton batubara yang diekspor akan bernilai Rp. 2800 triliun rupiah. Jika dipungut 25 persen dari nilai ekspor maka APBN dapat Rp 700 triliun. Bisakah Batubara menyetor sebesar itu? Padahal saat ini setoranya pada APBN hanya seupil.

Lalu bagaimana nasib PLN harus membeli batubara seharga 300 dolar per ton. Kebutuhan PLN sendiri sekitar 70 juta ton, maka PLN memerlukan uang 21 miliar dolar atau Rp. 315 triliun. Atau biaya PLN akan bertambah 220 dari biaya yang dikeluarkan sekarang. Pertanyaannya darimana PLN dapat uangnya? Katanya akan dapat bantuan dana hasil pungutan ekspor. Dengan demikian maka PLN tidak perlu menaikkan tarif untuk mendapatkan uang akibat naiknya harga Batubara. Konon dengan itu APBN akan selamat, PLN akan selamat.

Pertanyaannya jika cara pengaturan sawit ini di bawa bawa ke batubara. Sementara pengaturan sawit gagal menstabilkan harga minyak goreng. Uang hasil pungutan sawit pun tak jelas rimbanya. Harga minyak goreng pun tak dapat dikendalikan..Maka ujung ujungnya cerita penghapusan DMO batubara ini akan bernasib sama dengan sawit. Tapi bagaimana lagi, menteri keuangan ingin dapat uang banyak.

Pie iki Kang Mas?

Baca Juga: