Pandemi memberikan dampak luar biasa pada lingkungan kerja, perubahan pola kerja dan memberikan tekanan kerja tersendiri. Kendati bukan satu-satunya penyebab, pandemi diyakini memiliki kontribusi atas maraknya fenomena quiet quitting yang menurut Konsultan Manajemen ternama Gallup sudah menjadi alarm bagi eksekutif dan human resources (HR) profesional sebagai hal yang harus disikapi dengan serius.

Temuan Gallup yang dirilis September lalu, setidaknya 50% tenaga kerja di Amerika Serikat mengalami quiet quitting. Hal ini terutama terjadi di kalangan Generasi Z dan milenial muda, yakni mereka yang berusia di bawah 35 tahun. Keterikatan dan kepuasan mereka terhadap perusahaan tempat mereka bekerja mulai mengalami penurunan tajam sejak paruh kedua tahun 2021.

Fenomena quiet quitting

Di Indonesia sekarang pun, tidak sedikit pula tenaga kerja yang merasa kehilangan motivasi, terombang-ambing dalam ketidakjelasan dan mengalami penurunan motivasi kerja, lebih jauh, keterlibatan kerja juga menurun. Tenaga kerja yang terabaikan itu tidak merasa menjadi bagian dari perusahaan karena tidak diberi kesempatan untuk tumbuh dan hanya akan mengerjakan pekerjaan secara minimalis. Pekerja tidak lagi menempatkan inovasi brilian, pemikiran kreatif, juga pengembangan potensi-potensi yang lain sebagai hal-hal yang penting untuk dilakukan.

Ringkasnya, ketidakpuasan atas pekerjaan tidak lantas mendorong pekerja untuk keluar dan mencari pekerjaan di lain perusahaan. Para pekerja tersebut memilih tetap berada di perusahaan yang sama namun dengan melakukan pekerjaan secukupnya saja. Kondisi inilah yang dewasa ini dikenal dengan istilah quiet quitting.

Tentu wajar jika perusahaan-perusahaan di Indonesia juga mulai resah dengan fenomena quiet quitting. Apalagi, sampai akhir tahun ini, berbagai tantangan dan fenomena global yang serba tidak pasti masih menjadi isu penting di tengah makin menguatnya kekhawatiran akan terjadinya resesi global. Saat ini pun puluhan perusahaan di Indonesia pun telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kondisi tersebut yang diprediksi masih belum mencapai puncaknya. Sementara itu, perusahaan dan tenaga kerja juga masih berjuang untuk menyesuaikan dirinya dengan kondisi new normal, dan berbagai kebijakan baru yang muncul seperti WFH atau hybrid yang acap kali praktiknya tidak berjalan mulus.

Tidak dipungkiri bahwa semua perusahaan akan berusaha untuk memberikan lingkungan kerja yang positif dan mendorong tenaga kerja untuk produktif dan berkinerja baik. Berbagai upaya baik secara finansial maupun non finansial diupayakan untuk menjamin kesejahteraan tenaga kerjanya (employee wellbeing).

Mempertahankan talenta terbaik diperusahaan tentu tidaklah mudah, tidak sekadar memberikan manfaat atau keuntungan semata namun melampaui itu, termasuk juga kesehatan emosional, hubungan sosial di tempat kerja, aspek finansial dan juga peluang pengembangan karir. Perusahaan tentu perlu mengambil peluang dalam mendukung tenaga kerja mengelola aspek kehidupan pekerjaan dan pribadinya (work life balance).

Peluang Solusi

Perusahaan atau organisasi dengan karakteristik terbuka terhadap inovasi dan selalu berkolaborasi secara internal dianggap akan lebih mudah menyelesaikan permasalahan quiet quitting tersebut dibanding dengan yang mekanistik. Artinya perusahaan diharapkan tidak hanya mengurusi perbaikan fisik semata namun lebih bisa selalu hadir dan membantu pekerjanya untuk bisa mengatasi masa-masa sulit, memberi ruang untuk mengembangkan potensinya, melibatkan semua pihak hingga memberikan keseimbangan kerja dan kehidupan personal tenaga kerjanya.

Perlu disadari bahwa mayoritas dari tenaga kerja saat ini merupakan generasi muda potensial yang memerlukan pendekatan yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Jika sebelumnya perusahaan atau organisasi tidak mempunyai batasan yang jelas akan waktu kerja maka sekarang saatnya untuk memperbaikinya, misalnya dengan mengurangi intensitas pekerjaan di luar jam kerja dapat menjadi opsi yang baik. Kemudian, jika sebelumnya banyak pertemuan yang tidak efektif dan efisien maka perlu untuk ditinjau ulang pelaksanaannya, durasi dan isi dari setiap pertemuaan atau rapat harus semakin ringkas dan semua yang terlibat harus dalam kondisi well prepared.

Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah aspek finansial dan kinerja. Perusahaan harus juga mampu memberikan tantangan pekerjaan bagi generasi muda namun dengan hasil yang sepadan. Penghargaan atas kinerja pekerja harus dilakukan untuk menjaga motivasi kerja, baik dari jumlah maupun ketepatan waktu pemberian. Hindari bentuk komunikasi yang vertikal namun lebih kepada strategic partnership yang setara sehingga hal tersebut akan mendorong generasi muda untuk lebih terlibat dalam berbagai kegiatan maupun pekerjaan dengan sukarela (organizational citizenship behavior), hal yang selama ini banyak dikeluhkan telah semakin pudar di berbagai organisasi.

Terakhir, kondisi perekonomian global yang diprediksi akan mengalami resesi juga perlu menjadi perhatian, baik bagi perusahaan maupun tenaga kerja. Jika resesi terjadi, hal yang sulit untuk dihindari biasanya perusahaan akan mulai untuk memangkas biaya. Di sisi lain, pekerja mungkin akan dihadapkan pada kondisi yang stagnan, di mana perusahaan akan menahan diri dan memantau kondisi tersebut untuk mengambil langkah-langkah ke depan yang bijak demi keberlanjutan perusahaan.

Akhir kata, adanya keterbukaan dari perusahaan dan kesadaran dari pekerja diharapkan akan mempermudah menemukan jalan keluar bersama dari fenomena quiet quiting yang semakin marak terjadi di lingkungan kerja.

*Penulis: Daniel Yudistya Wardhana SE., MEI., Dosen Departemen Manajemen FBE Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY)

Baca Juga: