Keadilan berasal dari kata 'adil'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti adil adalah sama berat, tidak berat sebelah, atau tidak memihak. Kajian mengenai keadilan sudah dimulai semenjak masa Yunani Kuno. Pada masa tersebut, gagasan umum mengenai keadilan secara kodrati dan keadilan yang berdasarkan hukum yang berlaku. Pada masa itu, keadilan dikaitkan dengan hukum kodrat. Menurut Plato sebagaimana dikutip oleh Suteki dan Galang Taufani, keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat.
Untuk mewujudkan suatu keadilan, masyarakat harus dikembalikan pada struktur aslinya. Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan tersebut. Dengan demikian, keadilan bukan hanya mengenai hubungan antara individu, melainkan hubungan individu dengan negara, bagaimana individu melayani negara. Keadilan juga harus dipahami secara metfisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi yang sifatnya tidak dapat diamati secara fisik oleh manusia. Konsekuensi hal ini adalah realisasi keadilan ada diluar pengalamn manusial dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga.
Menurut Aristoteles, keadilan dibedakan menjadi keadilan distributif, pemulihan, dan komutatif. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama dan sederajat di hadapan hukum (equality before the law). Keadilan komutatif mengatur urusan transaksi antara pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran atau perdagangan.
Menurut John Rawls, keadilan pada dasarnya merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dan kesejahteraan seluruh kelompok dalam masyarakat. Hukum harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi yang adil dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya, dan dapat bertindak proporsional sesuai dengan hak dan kewajibannya, tidak melanggar hukum yang berlaku. Dengan demikian, keadilan sangat berkaitan erat dengan hak dan kewajiban para pihak dalam melaksanakan kesepakatan perjanjian sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan berita pemilik Waroeng Special Sambal yang mengeluarkan surat edaran untuk karyawannya yang berisi pemotongan gaji sebesar Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu Rupiah) kepada para karyawannya yang mendapat Bantuan Subsidi Upah (BSU). Pemotongan tersebut akan dilakukan untuk gaji bulan November dan Desember 2022. Dituliskan juga, jika ada karyawan yang keberatan, maka akan diminta untuk menandatangani surat pengunduran diri. Hal ini menunjukkan kesepakatan untuk melaksanakan hak dan kewajiban para pihak tidak dilaksanakan dengan baik. Adalah hak dari karyawan untuk mendapatkan BSU, dan adalah kewajiban dari pemilik perusahaan untuk tetap menyalurkan BSU sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Hal ini juga melukai nurani keadilan bagi karyawan yang berhak mendapatkan bantuan sosial. Bantuan sosial ini seyogyanya digunakan untuk meringankan beban dari penerima bantuan akan ekonomi yang situasinya semakin tidak menentu. Pemotongan ini melanggar prinsip keadilan distributif; pemotongan bantuan melanggar peadaban kemanusiaan. Keadilan adalah para pengusaha memberikan hak kepada karyawan, dan ketika hal pemotongan ini terjadi, ini merupakan tindak ketidakadilan. Pelanggaran ini membuka mata kita bahwa moralitas publik tidak dijadikan acuan untuk berpikir, bertindak, dan berelasi. Seharusnya semua orang memiliki kepatuhan pada suara hatinya, kepatuhan untuk berlaku adil dan memiliki nilai kemanusiaan, merasa semua manusia adalah sama dan sederajat, tidak ada pengecualian.
Cerita diatas hanyalah salah satu dari banyak kasus ketidakadilan dalam kehidupan publik Indonesia. Cerita ini, dan semua cerita yang lain, menunjukkan suara hati dan nalar kebenaran kerap kali digadaikan hanya untuk keuntungan sesaat. Banyak masalah ketaatan hukum di negeri kita yang menyangkut rasa ketidakadilan ini. Orang-orang kuat memiliki kasus, tetapi dengan mudahnya dapat melangkah keluar dari jerat hukum, sedangkan masyarakat umum yang kecil dan lemah, dijerat sekencang-kencangnya untuk pelanggaran yang, jika dibandingkan, tidak sebesar seperti yang dapat dihindari oleh orang-orang kuat tersebut.
Tentu saja, menegakkan keadilan bukan hanya sekedar menegakkan hukum, tetapi juga memiliki sangkut paut dengan moralitas. Hukum harus dijalankan seiring dengan moralitas publik. Sinisme publik atas suatu keputusan hukum dan politik merupakan cermin dari diabaikannya moralitas dalam perilaku politik.
Hukum dan moralitas ada, tetapi seringkali dianggap tiada. Manusia diajari hidup di alam yang amat buas. Manusia diajari bahwa yang kuat selalu emnang dan yang lemah harus selalu kalah. Kehidupan publik tidak lagi tunduk pada moralitas.
Realitas inilah yang menghancurkan peradaban kita sebagai bangsa. Alhasil, kita sebagai bangsa tidak lagi berpikir untuk taat pada norma hukum, dan memperbolehkan kita untuk gila pada kekuasaan dan uang, serta mengkhianati nilai-nilai keadilan. Hukum ditegakkan seringkali karena memberikan keuntungan pada para penguasa modal dan penguasa pemerintahan. Hukum diabaikan Ketika dianggap mengganggu kepentingan politik penguasa. Akhirnya, masyarakat pun bertanya: hukum untuk siapa?
Untuk mewujudkan keadilan hukum, memang dibutuhkan iktikad politik (political will) yang sangat kuat dari penguasa.Tanpa itu nyaris tidak mungkin keadilan hukum bisa diwujudkan. Penguasa memiliki kekuasaan yang bisa mengarahkan, memfasilitasi, dan menciptakan suasana yang kondusif guna terwujudnya hukum sebagai panglima untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat.
Keadilan di ranah publik harus ditegakkan. Diperlukan adanya pengawasan pemberi bantuan, terutama kementerian terkait dengan pemotongan gaji ini, yaitu Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), agar bantuan benar-benar diterima, karena jika tidak sesuai, berarti kita mengkhianati suara hati dan tanggung jawab moral.
Bagi pemilik modal, berikan bantuan secara adil, merata dan tidak pandang bulu . janganlah memandang dan melihat bantuan hanya sekedar bantuan sosial, atau malah beban dari profit usaha, tetapi lihatlah hal ini sebagai menghargai martabat manusia. Para karyawan adalah manusia. Mengkhianati bantuan sosial, berarti mengkhianati keutaman hidupnya, karena siapa yang mencintai manusia sesamanya, berarti dia mencintai Tuhan. Mencintai Tuhan dan mencintai sesama manusia, esensialnya, adalah pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Sila pertama mengajarkan kita untuk mencintai Tuhan dengan sepenuhnya, dan sila kedua sampai sila kelima mengajak kita, masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali, untuk mencintai sesama manusia, sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pancasila adalah dasar dan pandangan hidup sebagai bangsa Indonesia.
Kiranya kita dapat berharap bahwa cerita pemotongan gaji yang dilakukan oleh WSS ini adalah yang terakhir. Mari tegakkan keadilan publik dengan norma moralitas publik. Putus zholim dengan menegakkan moralitas publik. Mari kembali melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam setiap aspek kehidupan. Kembalikan moral dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dengan menghargai martabat dan harga diri sesama manusia.
* Antonius Benny Susetyo adalah Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila