Di hampir semua kota besar di Indonesia, seni tradisional tersisih, terpinggirkan. Hidup segan, mati pun tak mau, kalah dengan budaya luar. Padahal, seharusnya budaya setempat dan budaya luar bisa sama-sama berkembang, tumbuh berdampingan.
Tergesernya seni tradisional ini salah satunya disebabkan maraknya budaya pop yang merasuki kaum milenial. Kaum yang lahir di tahun 2000-an tersebut lebih akrab dengan smartphone. Dengan gadget yang ada di genggamannya, mereka bisa menikmati budaya dari berbagai penjuru belahan dunia, semua budaya pop, termasuk KPop dari Korea tanpa ada batasan.
Nahasnya, berbagai aplikasi sosial media yang ada di gadget, sedikit sekali yang menampilkan seni tradisional. Kalau toh ada, dikemas apa adanya, kurang profesional, dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Itu semua karena pemerintah tidak menyediakan panggung memadai bagi seniman tradisonal.
Di Surabaya misalnya, kini tidak ada lagi tempat bagi para seniman ludruk untuk berekspresi. Dulu di beberapa sudut pinggiran Surabaya, masih bisa kita jumpai gedung pertunjukan ludruk secara permanen. Terakhir, sampai dengan 2019, kita masih bisa menikmati seni tradisional ludruk setiap malam di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Sayang, tempat tersebut kini tutup dengan alasan akan direnovasi.
Begitu juga di Jakarta, kalau mau nonton lenong, kita harus menunggu ada orang Betawi punya hajat dulu, tidak bisa sewaktu-waktu. Atau kita menunggu jadwal anjungan DKI di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) mengadakan acara, baru kita bisa menyaksikan kesenian rakyat penduduk asli Jakarta ini.
Sayang sekali kota metropolitan sebesar Jakarta, tempat bercampurnya budaya dari berbagai belahan dunia, kesenian aslinya hampir mati. Padahal, sanggar atau perkumpulan lenong di Jakarta banyak sekali. Tidak perlu juga setiap hari ada pertunjukan, tetapi minimal ada jadwal tetap, seminggu sekali itu sudah bagus.
Tidak adanya tempat atau wadah bagi seniman tradisional untuk berekspresi juga yang membuat seni tradisional ondel-ondel turun kasta. Sering kita lihat ondel-ondel ngamen, berjalan menyusuri jalan-jalan Kota Jakarta yang macet, berharap belas kasih warga yang lewat. Pulangnya dinaikkan mikrolet, ditaruh di atas kap. Tidak ada nilai seninya, kesannya hanya meminta-minta uang alias ngemis. Sebagai ikon Kota Jakarta, rasanya tidak elok ondel-ondel "mengemis" keliling kota.
Karena itu, langkah Satpol PP Jakarta merazia puluhan orang yang mengamen dengan menggunakan ondel-ondel harus kita dukung. Tetapi jangan berhenti sampai di situ. Jangan hanya ditangkap, dilarang ngamen, tetapi tidak diberi solusi.
Setelah razia, Pemprov DKI harusnya menyediakan panggung pertunjukan bagi mereka. Bisa juga mengumpulkan para seniman ondel-ondel tersebut dilatih untuk membuat miniatur ondel-ondel yang bisa dijadikan cendera mata bagi orang luar yang berkunjung ke Jakarta. Dijual di bandara, hotel, dan beberapa pusat perbelanjaan di tengah kota sehingga kita bisa bangga, ondel-ondel dipajang di ruang tamu atau ruang kerja di kantor seperti boneka matryoshka dari Russia.