Meski dalam beberapa kasus olahraga dan politik susah dipisahkan dan buktinya sudah banyak, tetapi hendaknya kita semua harus memulai untuk tidak mengaitkan olahraga dengan politik. Olahraga justru harus bisa menetralkan suhu tinggi politik.
Olahraga dan politik adalah dua hal yang berbeda, sangat jauh berbeda. Bahkan dalam beberapa hal, olahraga dan politik bisa bertolak belakang. Dalam olahraga, orang berlomba-lomba untuk menjadi pemenang dengan menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. Tetapi dalam politik, banyak orang berlomba-lomba menjadi pemenang dengan menghalakan segala cara (machiavelist).
Namun dalam beberapa hal banyak orang mengaitkan olahraga dengan politik, bahkan menggunakan olahraga untuk kepentingan politiknya. Lihat saja, untuk memprotes pendudukan Uni Sovyet (sekarang Russia) di Afghanistan, Amerika Serikat (AS) memboikot Olimpiade 1980 yang diselenggarakan di Moskow, Uni Sovyet. Tindakan AS tersebut diikuti tidak kurang dari 60 negara lainnya, termasuk Indonesia.
Nasib sama dialami Olimpiade 1984 di Los Angeles, AS. Uni Sovyet bersama 14 negara sekutunya balas memboikot. Akibatnya, dengan mudah AS keluar sebagai juara umum.
Bahkan Presiden Soekarno bukan hanya mengaitkan politik dengan olahraga, tetapi malah menjadikan olahraga sebagai penyaluran politiknya melalui penyelenggaraan Ganefo (Games of The New Emerging Forces) atau pesta olahraga negara-negara berkembang pada akhir tahun 1962 di Jakarta sebagai tandingan olimpiade. Indonesia merasa sakit hati dikecam Komite Olimpiade Internasional karena dalam Asian Games di tahun yang sama, tidak mengundang Israel dan Taiwan sebagai bentuk simpati terhadap negara-negara Arab dan Tiongkok.
Kini yang lagi ramai diperbincangkan adalah langkah AS melakukan boikot diplomatik Olimpiade Musim Dingin yang akan belangsung di Beijing, Tiongkok, Februari 2022 dengan alasan Tiongkok melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Xin Jiang.
Boikot diplomatik yang dimaksud adalah para pejabat AS termasuk presiden tidak akan menghadiri olimpiade musim dingin tersebut. Artinya, atlet-atlet AS tetap bertanding hanya saja tidak akan didampingi pejabat pemerintah. Langkah boikot diplomatik AS tersebut kemudian diikuti Jepang, Lithuania, Skotlandia, Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Kanada.
Tiongkok sendiri bereaksi keras, meminta politik jangan dikaitkan dengan olahraga. "Sikap AS jelas melanggar prinsip netralitas politik yang tertuang dalam Piagam Olimpiade dan bertentangan dengan motto 'Kebersamaan dalam Olimpiade' serta berbeda dengan sikap para atlet dan suporter global," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Zhao Lijian di Beijing, Selasa (7/12).
Meski dalam beberapa kasus olahraga dan politik susah dipisahkan dan buktinya sudah banyak, tetapi hendaknya kita semua harus memulai untuk tidak mengaitkan olahraga dengan politik. Olahraga justru harus bisa menetralkan suhu tinggi politik. Mari kita capai motto olimpiade yaitu Citius, Altius, Fortius (lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat) dengan menjunjung tinggi perbedaan pendapat, perbedaan keyakinan, perbedaan keragaman budaya, perbedaan suku bangsa, dan mengendapankan hak asasi manusia dengan tetap mengedapankan persahabatan dan kerja sama.