JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memperhatikan kondisi internal perbankan dalam negeri di tengah melemahnya nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dollar AS. Meskipun tak terlalu mempengaruhi kinerja bisnis perbankan secara umum, namun perhatian perlu dilakukan bagi bank dengan eksposur kredit valas yang besar.

"OJK juga harus memperhatikan kondisi internal bank atau individual bank, kira-kira bank-bank mana yang akan tereksposur terhadap gejolak nilai tukar yang tinggi agar tidak terjadi risiko bank gagal," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan di Jakarta, Selasa (16/4).

Sebagai informasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, Selasa (16/4) pagi, turun 240 poin atau 1,51 persen menjadi 16.088 rupiah per dollar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya pada 5 April 2024 sebesar 15.848 rupiah per dollar AS. Kemudian, pada sore hari, kurs rupiah kembali ditutup merosot 328 poin atau 2,07 persen menjadi 16.176 per dollar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya pada 5 April 2024.

Pelemahan nilai tukar rupiah di hari kerja pertama pasca-liburan Lebaran ini terjadi seiring dengan konflik Iran dan Israel serta sentimen penundaan pemotongan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS).

Abdul mengatakan, durasi konflik geopolitik yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah perlu untuk terus-menerus dicermati. Terkait pengaruh pelemahan nilai tukar rupiah terhadap bisnis perbankan dalam negeri, dia memandang kondisi tersebut tidak membawa dampak signifikan.

Hal itu, imbuh Abdul, mengingat penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dalam valuta asing (valas) terhadap total DPK masih relatif rendah. Begitu pula dari sisi penyaluran kredit dalam valas yang dinilai masih rendah terhadap total kredit bank.

"Karena porsi kredit valas ini tidak begitu signifikan terhadap total kredit bank, saya pikir tidak akan besar pengaruhnya menggerus laba bank. Karena ketika bank sudah mulai mengurangi penyaluran kredit ke valas, maka dia akan mengganti atau mengurangi portofolionya di valas dan menggesernya ke portofolio lain," kata Abdul.

Strategi "Hedging"

Akan tetapi, bank-bank yang tetap menyalurkan kredit valas dalam porsi besar, terutama ke sektor-sektor yang rentan terhadap pelemahan ekonomi global, berpotensi menghadapi peningkatan non-performing loan (NPL). Karena itu, bank dengan kredit valas dalam porsi besar perlu mendapat perhatian dari regulator. Di samping itu, bank juga dinilai perlu melakukan perbaikan terhadap portofolio bisnisnya.

Dia mengamini bank-bank dengan aset terbesar, terutama yang masuk dalam kategori BUKU IV, biasanya telah memiliki strategi hedging terhadap pelemahan nilai tukar rupiah yang mumpuni dibanding bank dalam kategori BUKU lainnya. Meski begitu, kata Abdul, perlu digarisbawahi yaitu seberapa besar hedging tersebut bisa mengatasi gejolak nilai tukar rupiah.

"Misalnya, hedging mereka (bank) lakukan di (level) 16.500 rupiah. Kalau masih berada di-cover-nya hedging mereka, itu tidak akan terpengaruh apa-apa," kata Abdul.

Baca Juga: