Pinjol telah melenceng jauh dari tujuan awal sebagai penyedia pembiayaan bagi pelaku usaha khususnya segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan mendorong inklusi keuangan.

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu segera mengatur bunga dan biaya layanan pinjaman online (pinjol) secara transparan. Sebab, permasalahan pinjol atau fintech lending makin pelik setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meneliti dugaan penetapan bunga 0,8 persen per hari yang dilakukan pinjol.

Direktur Ekonomi Digital dan Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menuturkan kesepakatan bunga 0,4 persen yang berlaku saat ini meskipun turun dari 0,8 persen per hari masih dinilai tidak menyelesaikan masalah. Sebelumnya, pinjol dinilai telah melenceng jauh dari tujuan awal menyediakan layanan untuk pembiayaan kompetitif bagi pelaku usaha khususnya segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan mendorong inklusi keuangan.

Beberapa kasus seperti indikasi tingginya bunga pinjaman, biaya layanan yang terlalu memberatkan peminjam, hingga proses penagihan yang dinilai tidak sesuai etika terjadi akibat ruang kosong pengaturan OJK.

"Tidak ada informasi yang transparan mengenai biaya bunga, layanan, asuransi dan denda. Informasi mengenai bunga hanya ditampilkan 0,4 persen tanpa keterangan yang lebih jelas apakah per hari, per minggu, atau per tahun," tegas Huda pada Koran Jakarta, Minggu (8/10).

Atas informasi bunga yang parsial tersebut, lanjut Huda, survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan faktor utama peminjaman di pinjol adalah bunga murah. Padahal, jika dibandingkan dengan bunga lembaga keuangan lainnya, bunga pinjol per tahun sangat tinggi. Dengan bunga 0,4 persen, bunga pinjol per tahun bisa mencapai 144 persen atau 1,4 kali dari pokok pinjaman.

"Informasi lainnya, seperti biaya layanan, asuransi, dan denda tidak disebutkan untuk persentase maupun nilainya. Bahkan, ada platform pinjol yang menetapkan biaya layanan dan asuransi hampir 100 persen dari pinjaman pokok," imbuh Huda.

Senada, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menambahkan, selama ini regulasi pinjol terkesan dibuat terlalu lunak. "Ada indikasi pengaturan di industri pinjol tidak detil terkait dengan batas bunga pinjaman dan biaya layanan. Sepertinya ada yang berlindung di balik inovasi keuangan digital. Jadi, seolah perlindungan konsumen kerap dinomorduakan. Akibatnya, pemain pinjol menetapkan bunga dan biaya layanan tergantung kesepakatan, tidak diatur secara eksplisit dalam POJK," ungkap Bhima.

Celios meminta masalah batas atas bunga pinjol dimasukkan dalam POJK sebagai bentuk perlindungan dan literasi terhadap calon peminjam. "Sebaiknya OJK berani mengubah ketentuan dalam revisi POJK terkait dengan fintech atau membuat POJK baru yang berisi ketentuan batas maksimum bunga fintech tidak boleh lebih tinggi dari fasilitas pinjaman KTA bank yakni berkisar 10-25 persen per tahun," ucap Bhima.

Sementara bunga pinjaman produktif sebaiknya tidak melebihi 9 persen per tahun. "Selain itu, kami juga meminta OJK menetapkan sanksi apabila perusahaan fintech melanggar ketentuan batas bunga atas," kata Bhima.

Transparansi Bunga

Selain batas bunga maksimal, persoalan lainnya adalah transparansi bunga di saat literasi keuangan pengguna pinjol masih cukup rendah. Menurutnya, pengaturan transparansi bunga pinjaman pinjol juga penting agar menambah edukasi calon peminjam (borrower).

OJK, menurut dia, sebaiknya mewajibkan pinjol mencantumkan bunga per annum atau per tahun meski tenor pinjol lebih pendek dibanding lembaga keuangan lain.

Baca Juga: