Akibat dampak pandemi Covid-19 dan konflik antara Russia dan Ukraina, OECD memprediksi pemulihan ekonomi global rapuh.

ROMA - Dunia berada di tengah-tengah "pemulihan ekonomi yang rapuh" akibat dampak pandemi Covid-19 dan konflik antara Russia dan Ukraina, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organisation for Economic Cooperation and Development(OECD) mengatakan pada Jumat (17/3).

Dalam Economic Outlook, Interim Report yang dirilis pada Jumat (17/3), OECD memperkirakan ekonomi global tumbuh sebesar 2,6 persen tahun ini, dan kemudian meningkat menjadi 2,9 persen pada tahun 2024 sebagai dampak abadi dari krisis Ukraina, seperti masalah pasokan energi dan inflasi tinggi.

"Penurunan harga energi telah berkontribusi pada peningkatan moderat dalam prospek global," kata OECD dalam sebuah pernyataan.

Seperti dikutip dari Antara, laporan tersebut memperkirakan ekonomi Tiongkok akan tumbuh paling cepat di dunia tahun ini, meningkat sebesar 5,3 persen, sedangkan ekonomi AS tumbuh sebesar 1,5 persen tahun ini dan 0,9 persen pada 2024.

Dalam rekomendasinya, OECD meminta negara-negara untuk mempertahankan kebijakan moneter yang ditujukan untuk menurunkan inflasi, menargetkan dukungan fiskal ke sektor-sektor yang terkena dampak paling parah, dan mengambil langkah-langkah untuk memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih besar.

Sebelumnya Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2023 dapat mencapai 2,6 persen sejalan dengan dampak positif pembukaan ekonomi Tiongkok dan penurunan disrupsi suplai global.

"Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan lebih baik dari proyeksi sebelumnya," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.

Perry menuturkan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa lebih baik dari proyeksi sebelumnya dan diikuti oleh risiko resesi yang menurun.

Perbaikan prospek ekonomi global tersebut, tambah Perry, diperkirakan menaikkan harga komoditas non-energi di tengah harga minyak yang menurun akibat berkurangnya disrupsi suplai global.

Menurut Perry, perkembangan positif ekonomi global itu dan ekspektasi kenaikan upah karena keketatan pasar tenaga kerja di Amerika Serikat dan Eropa mengakibatkan proses penurunan inflasi global khususnya di kedua belahan dunia itu berjalan lebih lambat sehingga mendorong kebijakan moneter ketat negara maju berlangsung lebih lama sepanjang 2023.

Pengetatan kebijakan moneter khususnya di negara maju tersebut ditambah munculnya kasus penutupan tiga bank di Amerika Serikat meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan global yang kemudian menahan aliran modal ke negara berkembang dan meningkatkan tekanan pelemahan nilai tukar di berbagai negara.

Tiga bank yang ditutup tersebut adalah Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank.

BI terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah guna memitigasi ketidakpastian pasar keuangan global tersebut termasuk dampak rambatan penutupan bank di Amerika Serikat terhadap pasar keuangan domestik dan nilai tukar rupiah.

Baca Juga: