» Dengan pengalihan anggaran negara untuk membayar obligasi rekap BLBI maka masyarakat miskin kehilangan haknya.

» Pembayaran bunga obligasi rekap secara prinsip tidak layak ditanggung negara.

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menyatakan tidak sedikit negara di dunia gagal mencapai cita-citanya karena korupsi.

Korupsi merupakan kejahatan serius yang bisa merampas dan mengurangi hak-hak warga negara. Bahkan, hak asasi manusia pun bisa dirampas karena korupsi.

Menanggapi pernyataan tersebut, pakar kebijakan publik dari Universitas Brawijaya, Malang, Andy Fefta Wijaya, mengatakan beban pemerintah yang disebabkan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan obligasi rekapitalisasi (obligasi rekap) perbankan membuat rakyat menjadi miskin secara berkelanjutan.

"Pembayaran utang untuk obligasi rekap dan piutang BLBI yang dikemplang memberatkan keuangan negara. Ini berhubungan dengan konsep opportunity cost. Jika anggaran negara tersebut tidak digunakan untuk membayar utang obligasi rekap, dana yang ada dapat digunakan untuk mengentaskan masyarakat miskin," kata Andy.

Dengan pengalihan anggaran negara untuk membayar obligasi rekap BLBI, masyarakat miskin kehilangan haknya yang cukup besar untuk mendapatkan alokasi dari anggaran tersebut untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Secara terpisah, Sekjen Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS), Hardjuno Wiwoho, mengatakan negara mesti lepas dari korupsi yang membelenggu seluruh kapasitas nasional sehingga sampai hari ini terus tertatih-tatih bahkan terjerat utang hingga 7.000 triliun rupiah.

Korupsi terbesar di negara ini adalah skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan obligasi rekap BLBI. Skandal BLBI sedang dikejar oleh Satgas BLBI yang menyatakan angka piutang negara mencapai 110 triliun rupiah. Sementara obligasi rekap membuat APBN mesti membayar bunga rekap puluhan triliun per tahun sampai 2043.

"Sekarang, bayar bunga dan cicilan utang total pemerintah per tahun 400 triliun rupiah. Beban APBN makin besar, pajak rakyat kecil akhirnya dikejar-kejar. PPN naik, bandingkan dengan obligasi rekap yang membuat pemerintah menyubsidi bank-bank besar puluhan triliun per tahun dari 1999 sampai 2043 nanti, atau kalau ditotal bisa mencapai 4000 triliun rupiah sendiri untuk bayar obigasi rekap," kata Hardjuno saat dihubungi Koran Jakarta, Jumat (15/4).

Pembayaran bunga rekap setiap tahun tersebut, jelasnya, menyebabkan ruang fiskal semakin terbatas untuk membiayai program subsidi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

"Utang yang besar mengurangi kemampuan negara mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberi rakyat layanan yang lebih baik," kata Hardjuno.

Skandal BLBI dan obligasi rekap, pembayaran bunganya sampai sekarang bisa dikatakan tidak transparan dan hal itu menjadi sumber dari segala korupsi yang dikatakan KPK sebagai kejahatan luar biasa karena memiskinkan rakyat secara berkelanjutan.

Tidak Layak

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan utang bunga obligasi rekap secara prinsip tidak layak ditanggung negara, apalagi dengan kondisi APBN yang kurang sehat di tengah seretnya pendapatan negara.

Badiul juga meminta agar Satgas BLBI mempercepat upaya penagihan yang hingga saat ini jauh dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 110 triliun rupiah. Kalau penagihan dioptimalkan bisa membantu memperkuat APBN.

Meskipun sudah mencoba mengurangi beban keuangan negara dengan reprofiling atau penerbitan obligasi baru dengan jangka waktu tenor lebih panjang, namun ternyata belum bisa juga menyelesaikan masalah.

"Kesempatan moratorium utang obligasi saat pandemi juga tidak diupayakan pemerintah," kata Badiul.

Baca Juga: