Di Balai Budaya, Jl. Gereja Theresia No.47 Gondangdia, Kecamatan. Menteng, Jakarta Pusat, mulai tanggal 4 hingga 14 Maret 2023 berlangsung pameran kartun dengan judul Politik Poliglenik. Pameran tunggal dari Gatot Eko Cahyono seorang Pimpinan Redaksi (Pimred) Monitor Indonesia, merupakan pameran karya karikaturnya yang diterbitkan berbagai media dalam kurun waktu tertentu.

Katun yang dipamerkan mengusung bermacam karya untuk mengkritisi berbagai peristiwa yang terjadi. Salah satu yang menjadi perhatiannya misalnya terkait pandemi Covi-19, curi start kampanye, wayang, peristiwa Klitih di Yogyakarta, Tragedi Kanjuruhan, suap, PKI, dan lainnya.

Ia mengkritik beberapa orang yang menggunakan isu PKI untuk kepentingan politik. Digambarkan sebuah wajan yang berisi kertas tulisan PKI. Di sampingnya terlihat orang bertopi yang dengan tulisan "Dari baunya sudah bikin eneg," di atas kepalanya.

"Gatot yang sayang kenal (dahulu) adalah sosok lelaki muda yang sederhana, ramah, sumeh, humoris dan mudah akrab dengan siapapun," tulis Non O S Purwono kartunis yang sudah lama kenal dengannya dalam pengantar Pameran.

Sebagai kartunis Gatot , mempunyai banyak pengalaman baik lahir dan batin. Ia dipandang tidak pernah lelah menggali ide. Hal itu dibuktikan dengan pameran tersebut yang menampilkan ratusan karya untuk merespon situasi yang terjadi.

Dalam karyanga ia menggunakan konsep "ngujo roso," yang artinya membebaskan rasa, dari berbagai unsur dalam dunia seni. Di sini rasa menempati urutan khusus dan diperlakukan istimewa.

Sebagai orang timur unsur kehati-hatian ini sangat dipegang erat, sebagai pegangan dalam pergaulan sosial, sehingga kata Purwono Gatot dalam berbicara, berperilaku, dan berekspresi. Begitulah yang dianut Gatot pria kelahiran Yogyakarta 10 Maret 1961 itu.

Rasa dalam berkesenian berbeda dengan rasa (passion) dalam pengertian umum, misalnya takut khawatir, dan sejenisnya. Dalam ngujo roro, seni karikaturnya harus dibebaskan dari segala macam ikatan, tidak boleh dibelenggu oleh apapun, pokoknya mutlak harus bebas. Hal ini karena kreativitas berasal dari imajinasi yang harus bebas dari rasa ewuh pakewuh atau sungkan.

Namun demikian dalam berkarya sebagai kartunis tidak boleh bebas dari segala aturan. Sebagai media gambar kartun harus empan papan artinya mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat, sehingga tidak menerobos rambu-rambu sosial seperti SARA, pronografi, sopan santun, ujaracan kebencian dan lainnya.

Untuk itu diperlukan kecerdasan spesifik. Gatot sebagai kartunis profesional dan terasah menurut Purwono memenuhi syarat-syarat itu. Pria yang lulus Fakultas Institut Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) pada program studi Seni Grafis tahun 1988 itu mampu membuat kartun yang ringan, jenaka, tanpa menyinggung pihak-pihak yang dikritik.

"Kartu saya adalah kebebasan dalam berimajinasi," kata Gatot. "Dari imajinasi itulah saya saya seperti menemukan suatu nilai dalam menggali ide kreatif," lanjutnya.

"Dia sangat mengenali dan menguasai praktik 'guyon parikeno,' melalui goresan yang menampilkan kepingan adegan, interaksi antar manusia yang menghadirkan komika bernuansa komedi terkadang juga tragedi," kata seniman Butet Kartaredjasa.

Ia menilai masa proses kreatif Gatot yang dimulai sejak zaman Orde baru yang represif dan mentabukan kritik, membuat kritik yang dilakukan penuh kehati-hatian, dan waspada karena bermodal kecemasan oleh pluit Menteri Penerangan ketika itu.

"Saat itu hampir semua tukang tukang kritik mengalami hal serupa. Jadinya jejak karya Gatot mengisyaratkan cara berbahasa yang selalu mengeram sarkasme. Yang keras dan vulgar disembunyikan dalam kelembutan budaya Jawa. Terkadang simbolik. Kali lain diimajinasikan dengan metafora," lanjutnya.

.

Baca Juga: