LONDON - Koalisi sejumlah perusahaan, lembaga keuangan, kota dan wilayah terbesar di dunia, baru-baru ini bergabung untuk mendesak pemerintah dari negara-negara yang ada untuk meningkatkan ambisi iklim mereka menjelang tenggat waktu pada bulan Februari 2025, sebelum menyampaikan rencana pengurangan emisi mereka ke PBB.

Dikutip dari The Straits Times, kelompok ini telah mendaftar ke sebuah koalisi bernama Mission 2025. Koalisi ini diselenggarakan oleh Groundswell sebuah kolaborasi antara organisasi nirlaba Global Optimism, Systems Change Lab, dan Bezos Earth Fund.

Meskipun beberapa perusahaan bahan bakar fosil mendapat kritik dari para pengampanye lingkungan hidup, beberapa perusahaan lainnya merasa frustrasi dengan apa yang mereka lihat sebagai pemerintah yang berpikiran sempit dan enggan membuat peraturan untuk melakukan perubahan yang diperlukan, di tengah semakin banyaknya bukti bahwa perubahan iklim menjadi semakin ekstrem.

Mission 2025 bertujuan meyakinkan para pemimpin politik bahwa mereka mempunyai dukungan kuat untuk tindakan berani. Hal ini dipelopori oleh Christiana Figueres dari Global Optimism, yang mengawasi Perjanjian Paris pada tahun 2015 yang menghasilkan perjanjian global pertama yang menyatakan negara-negara akan mengurangi emisi yang merusak iklim.

Kurangi Emisi

Sepuluh tahun setelah Kesepakatan Iklim Paris, hampir 200 negara yang menyetujuinya mempunyai tenggat waktu untuk mengajukan Kontribusi Nasional atau Nationally Determined Contributions (NDC) yang diperbarui menguraikan kebijakan suatu negara untuk mencapai tujuan global dalam mengurangi emisi.

"Lebih dari dua pertiga pendapatan tahunan perusahaan-perusahaan terbesar di dunia, yang berjumlah total 31 triliun dollar AS, kini selaras dengan upaya untuk mencapai emisi nol bersih," kata koalisi tersebut dalam sebuah pernyataan, mengutip data dari Energy and Climate Intelligence Unit, sebuah wadah pemikir iklim independen.

Sebuah survei yang didukung PBB pada bulan Juni mengenai pandangan masyarakat mengenai perubahan iklim di 77 negara, menunjukkan 80 persen responden ingin pemerintah mereka mengambil tindakan yang lebih kuat meskipun beberapa pemerintah, yang khawatir dengan pemilu ulang dan perekonomian, telah mundur dari janji sebelumnya kebijakan tersebut.

Figueres mengatakan bahwa "kurangnya kepemimpinan" dan kebisingan politik adalah penyebab kebijakan yang tidak memadai untuk mendorong teknologi ramah lingkungan yang telah terbukti lebih murah, berkinerja lebih baik, lebih cepat dibangun, dan merupakan investasi yang lebih aman dibandingkan pesaingnya.

Baca Juga: