Tingkat utang sangat tinggi dan suku bunga yang tinggi telah menempatkan banyak negara di jalur menuju krisis.

JAKARTA - Pemerintah Indonesia harus mewaspadai peringatan dari Bank Dunia agar Indonesia tidak jatuh dalam jebakan utang. Melihat laporan Bank Dunia, di mana banyak negara berkembang yang terancam jatuh dalam krisis karena utang, Indonesia perlu berhati-hati sehingga tidak terjerumus dalam debt trap.

"Indonesia perlu berhati-hati sehingga tidak terjerumus dalam debt trap. Tren kenaikan utang tetap harus diperhatikan dengan manajemen anggaran yang baik," kata pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Tika Widiastuti, kepada Koran Jakarta, Rabu (20/12).

Laporan Utang Internasional Bank Dunia terbaru, Rabu (13/12), menyebutkan negara-negara berkembang telah mengeluarkan dana sebesar 443,5 miliar dollar AS, hanya untuk membayar utang publik eksternal dan jaminan publik pada tahun 2022.

Bank Dunia memperingatkan dengan tingginya tingkat pembayaran tersebut, negara-negara berkembang terancam jatuh dalam krisis, karena utang telah mengalihkan sumber daya anggaran dari kebutuhan penting, seperti kesehatan, pendidikan, dan lingkungan.

"Tingkat utang yang sangat tinggi dan suku bunga yang tinggi telah menempatkan banyak negara di jalur menuju krisis," kata Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia, Indermit Gill, lewat situs resmi Bank Dunia.

Laporan itu mengungkapkan, pembayaran utang termasuk pokok dan bunga, meningkat sebesar 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya di semua negara berkembang.

Disikapi Serius

Sementara itu, Guru Besar bidang Sosiologi Ekonomi, Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengatakan pemerintah mesti menganggap serius peringatan Bank Dunia tersebut karena jika sampai terjadi krisis, yang paling dahulu menjadi korban adalah rakyat miskin.

"Dengan lemahnya posisi negara-negara miskin, yang diperlukan sekarang justru skema penghapusan utang, bukan menambah utang baru karena di situ ada risiko debt trap. Pada kondisi normal saja negara miskin sudah kesulitan menghadapi kebutuhannya, maka ketika ekonomi jatuh dan daya beli mereka turun, negara miskin otomatis tidak berdaya," kata Bagong.

Menurut Bagong, daya beli masyarakat miskin semakin tertekan meskipun pemerintah menyalurkan bantuan. Sebagian warga miskin bahkan harus menjual harta benda, membuat mereka semakin rentan dan tidak berdaya. Akibatnya, negara miskin terpaksa berharap bantuan dan pinjaman baru agar masyarakat dapat memperpanjang daya tahan menghadapi tekanan yang ada.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya, YB Suhartoko, menyoroti penarikan utang baru yang dilakukan pemerintah.

Menurut Suhartoko, jika untuk memperkuat devisa, menunjukkan ada potensi pelemahan mata uang domestik. "Jika untuk keperluan yang lain terutama untuk tujuan produktif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perlu dipikirkan manajemen utang ke depannya," ucapnya.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengatakan pemerintah sampai 12 Desember 2023 sudah menarik utang 345 triliun rupiah untuk membiayai rencana defisit APBN 2023 sebesar 598 triliun rupiah.

UU APBN secara eksplisit menyatakan rakyat (DPR) memberi wewenang kepada pemerintah menarik utang hanya sebesar untuk membiayai defisit anggaran. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh menarik utang lebih besar dari defisit anggaran. Maka dinamakan utang pembiayaan anggaran.

Karena itu, menarik utang 345 triliun rupiah untuk membiayai defisit anggaran 35 triliun rupiah sangat tidak masuk akal dan melanggar UU APBN.

"Selain itu juga merugikan keuangan negara dan menguntungkan pihak lain (kreditur pemilik modal). Karena pemerintah harus membayar bunga atas utang yang seharusnya tidak diperlukan untuk membiayai defisit anggaran," tegasnya.

Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan alarm Bank Dunia soal rssiko beban utang negara berkembang yang kian membahayakan di tengah tingginya suku bunga, perlu disikapi secara bijak.

"Pertama, defisit fiskal harus secara konsisten dijaga di bawah 3 persen. Utang harus digunakan secara tepat guna, juga penting untuk tidak terperosok dalam keputusan-keputusan pembangunan, khususnya infrastruktur, yang sering kali sarat kepentingan non-ekonomi," papar Aloysius.

Kedua, tambah Aloysius, tepat guna penggunaan utang juga merupakan implikasi dari tepat guna pemanfaatan APBN. Dalam hal ini, selain infrastruktur, perlu pula perhatian lebih untuk bidang kesehatan dan pendidikan.

Baca Juga: