JAKARTA - Pemerintah perlu menjamin nasib pekerja perempuan agar bisa menafkahi keluarganya. Perlindungan terhadap pekerja perempuan bisa menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Lebih dari itu pula membuat bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia tidak menjadi bencana demografi karena banyaknya perempuan yang menganggur.
Perlindungan terhadap pekerja perempuan dapat membuat ekonomi rumah tangganya tetap kuat, sehingga dia ikut berkontribusi membantu pemerintah menekan prevalensi stunting atau gisi buruk. Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6%, sementara target yang ingin dicapai adalah 14% pada 2024. Keluarga harus menjadi garda terdepan mengatasi stunting.
Macam macam cara melindungi pekerja perempuan. Di sektor industri padat karya yang menampung banyak pekerja perempuan misalnya, pemerintah harus tetap menjaga agar sektor ini tetap bertahan dam tumbuh. Caranya dengan melindungi dari sisi kebijakan agar perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Negara harus menjaga keberlanjutan aktivitas industri dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kalaupun itu tidak mampu menarik tambahan investasi baru, minimal industri yang sudah ada tetap bertahan dan tumbuh.
Di saat meningkatnya tren investasi sektor padat modal di tanah air meningkat, negara harus bekerja keras agar investasi sektor padat karya atau
labour intensive ini tumbuh. Sebab, hanya dengan cara inilah negara bisa melindungi warganya.
Hal ini ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad. Dia berharap Pemerintah mereformasi kebijakan ekonomi nasional dengan mengurangi kebergantungan pada sektor jasa dan properti dan harus lebih memprioritaskan pertanian dan industri sebagai sumber utama pendapatan dan pertumbuhan ekonomi.
"Pemerintah mendorong semakin banyak industri labour intensive atau industri padat karya. Ledakan demografi yang dialami RI harus sejalan dengan peningkatan arus investasi yang masuk,"tegasnya.
Pekerja Sektor SKT
Tembakau dan cengkeh diakui pemerintah sebagai komoditas strategis nasional dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014. Tembakau dan cengkeh yang diserap dalam industri hasil tembakau (IHT) menjadi tumpuan hidup bagi 6 juta tenaga kerja, mulai dari petani, pekerja manufaktur hingga pekerja sektor kreatif.
Adapun sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) merupakan segmen padat karya yang menjadi tumpuan ladang kerja bagi ratusan ribu tenaga kerja. Sektor ini banyak melibatkan pekerja perempuan yang kini juga menjadi ibu rumah tangga.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budhyman Mudhara dalam bincang bincang dengan media beberapa waktu lalu mengatakan, di sinilah semakin nyata peran penting SKT dalam serapan tenaga kerjanya yang signifikan.
Uniknya kata dia, produksi SKT memerlukan ketrampilan dan kerajinan serta kesabaran dalam proses pembuatannya dan syarat ini cocok untuk kaum perempuan. Kinerja yang lebih teliti, rapi, mudah diatur, serta cepat dalam produksi menjadi pertimbangan pabrikan SKT merekrut tenaga kerja perempuan.
Para pekerja SKT didominasi oleh perempuan-perempuan yang mayoritas mengemban peran ganda sebagai tulang punggung keluarga. "Tercatat, 97% pekerja SKT adalah para perempuan yang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya, berhasil menyekolahkan anak-anaknya dan keberadaan pabrik SKT memberikan multiplier effect ekonomi di lingkungan masyarakat," papar Budhyman.
Namun, sayangnya papar dia, regulasi terkait pertembakauan saat ini belum mampu secara maksimal melindungi dan memberdayakan para ratusan ribu pekerja di segmen SKT. Oleh karena itu, sebagai bagian dari elemen ekosistem pertembakauan, SKT perlu dilindungi dan diberdayakan agar semakin mampu menyerap tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian daerah serta nasional.
"Sangat penting memastikan bahwa dari sisi kebijakan, pemerintah pusat maupun daerah perlu mengupayakan untuk menjaga sektor padat karya ini demi kesejahteraan para tenaga kerja di dalamnya. Termasuk perlindungan melalui regulasi yang adil, berimbang, dan mendorong pemberdayaan serta daya saing SKT. Dengan demikian, eksistensi industri SKT dan pekerjanya dapat terus tumbuh dan berdaya saing," tegas Budhyman.
Dari Proyeksi Ketenagakerjaan dan Sosial Dunia ILO dalam Tren 2023 (Tren WESO) terangnya, pertumbuhan lapangan kerja global hanya akan sebesar 1% pada 2023, kurang dari setengah pertumbuhan pada 2022. Sedangkan di Indonesia sendiri, ketersediaan lapangan kerja juga merupakan isu yang pelik.
Ekonomi Lokal
Tidak hanya memberdayakan pekerjanya, kehadiran industri SKT juga turut memberikan efek ganda bagi perekonomian lokal di sekitar area pabrik. Misalnya warung makanan dan minuman, toko kelontong, angkutan umum, dan sebagainya.
"SKT adalah sektor padat karya yang menumbuhkan perekonomian daerah dengan menjadi mata rantai yang saling bergantung. Oleh karena itu, terganggunya kehidupan SKT pasti akan berdampak pada sektor penunjang lainnya," tambah Budhyman
Adapun beberapa daerah dengan keberadaan SKT yang memberikan multiplier effect ekonomi, di antaranya: Jawa Tengah (Kab. Kudus, Kabupaten Klaten, dan lainnya); Jawa Timur (Kota Surabaya, Kab. Kediri, Kab. Malang, Kabupaten Mojokerto, dan lainnya. Kemudian, DI Yogyakarta (Kab. Sleman, Kab. Bantul) dan Jawa Barat (Kab. Majalengka, Kab. Cirebon).
Penjabat (Pj) Bupati Kudus, Jawa Tengah, Bergas Catursasi Penanggungan mengakui besarnya kontribusi industri ini buat daerahnya. Dia menegaskan komitmennya untuk terus menjaga keberlangsungan dan melindungi tenaga kerja di industri SKT. Dia menyebut dari puluhan perusahaan rokok di sana bisa menyerap 80 ribuan tenaga kerja di sektor formal serta menjadi kontributor ekonomi dan sosial utama di Kudus.