Pemerintah perlu memberikan jaminan hidup, khususnya pangan bergizi bagi anak-anak dari keluarga miskin atau prasejahtera dan rawan "stunting".

JAKARTA - Kemudahan akses pangan berkualitas dan pemberian pangan bergizi menjadi kunci utama bagi pemerintah mengatasi masalah kelaparan dan kemiskinan. Sebab, laporan Unicef terbaru menyebutkan satu dari empat anak di bawah usia lima tahun (balita) mengalami kemiskinan pangan parah.

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, menegaskan untuk Indonesia, perlu ada jaminan hidup, khususnya pangan bergizi bagi anak-anak dari keluarga miskin atau prasejahtera dan rawan stunting.

"Ini sangat penting agar masalah kemiskinan dan stunting di Indonesia khususnya tidak semakin parah," tegasnya kepada Koran Jakarta, Minggu (9/6).

Awan mengaku miris dengan laporan terbaru lembaga resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu seraya berharap agar di Indonesia masalah ini tidak terlalu parah.

"Selain bekerja sama dengan program pokok pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK), bisa juga dengan koperasi, atau UMKM catering/warung makan setempat untuk menyiapkan dan membagikan paket makan bergizi," ucapnya.

Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, menyoroti secara khusus intervensi pemerintah dalam mengatasi masalah akses pangan dan kesehatan. Makanya menurut dia, akses pangan dan kesehatan ini perlu dikembangkan sampai tingkat terbawah di layanan Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas).

"Peluang intervensi yang lebih efektif dapat juga dilakukan dengan revitalisasi dan dukungan penuh untuk gerakan PKK dan pos pelayanan terpadu (posyandu) untuk menjadikan keduanya menjadi pilar penyelesaian masalah kemiskinan dan perbaikan kualitas generasi mendatang," jelasnya.

Faktor Kemiskinan

Hafid melanjutkan faktor kemiskinan memang menjadi masalah dominan sehingga anak tidak mendapatkan dukungan memadai dari keluarganya untuk mengakses makanan bergizi dan layanan kesehatan secara optimal. Namun, faktor yang juga tidak kalah penting adalah soal budaya dan akses literasi dan pengetahuan orang tua untuk memberikan dukungan optimal terhadap tumbuh kembang anak.

"Bagi keluarga miskin, keduanya menjadi rantai setan yang harus diputus, anak-anak keluarga miskin cenderung tidak mendapatkan dukungan optimal dan pada akhirnya menularkan kemiskinan pada generasi berikutnya," ucap Hafids.

Menurutnya, akar permasalahan utama yang sangat berisiko lebih pada pernikahan dini dan ketidaksiapan keluarga yang terlalu muda untuk mengelola pertumbuhan anak-anaknya. Akibatnya, banyak terjadi kasus stunting yang linear dengan rasio pernikahan dini.

Selain itu juga, lanjutnya, perlunya dukungan khusus dan konseling yang mudah diakses untuk orang tua dari keluarga miskin.

Seperti diketahui, laporan Unicef menyebutkan sekitar 27 persen anak di bawah usia lima tahun atau 181 juta diberi makan tidak lebih dari dua dari delapan kelompok makanan per hari. Kondisi itu digolongkan Unicef sebagai kemiskinan pangan yang parah.

Jika anak-anak tidak mengonsumsi nutrisi penting, mereka cenderung mengalami wasting, bentuk malnutrisi paling parah. "Jika wasting semakin parah, mereka 12 kali lebih mungkin berisiko meninggal dunia," kata Harriet Torlesse, salah seorang penulis laporan tersebut, kepada kantor berita The Associated Press, beberapa waktu lalu.

Baca Juga: