Setelah menjajah Amerika dan Asia, beberapa negara Eropa menargetkan Afrika sebagai tanah jajahan baru pada abad ke-19. Melalui Konferensi Berlin, mereka membagi-bagi benua ini untuk meminimalkan konflik sesama mereka.
Setelah menjajah Amerika dan Asia, beberapa negara Eropa menargetkan Afrika sebagai tanah jajahan baru pada abad ke-19. Melalui Konferensi Berlin, mereka membagi-bagi benua ini untuk meminimalkan konflik sesama mereka.
Pada abad ke-19, negara-negara adikuasa di Eropa terkunci dalam pertempuran untuk supremasi global. Setelah menjajah benua Amerika dan Asia, incaran kolonial mereka diarahkan ke Afrika yang lama dilupakan.
Pada awal abad ke-19, kekuatan-kekuatan besar Eropa yang didorong oleh nafsu kolonialisme, telah mulai menyebarkan jangkauan mereka ke seluruh dunia. Pertama adalah Inggris telah menaklukkan India dan telah lama mendirikan koloni di Amerika utara dan Australia.
Thomas Bailey, sarjana geografi dari Bangor University yang banyak menulis tentang penjajahan di Afrika, menyebutkan negara tetangga Prancis juga telah berusaha untuk memperluas kendali kekaisaran mereka di Amerika utara. Negara-negara Iberia, Spanyol, dan Portugis, juga berhasil memperoleh monopoli atas Amerika selatan.
Namun Afrika relatif tidak terpengaruh oleh kolonialisme Eropa, meskipun telah dihancurkan oleh perdagangan budak transatlantik. Namun benua ini kemudian mengalami kunjungan yang semakin sering dari penjelajah dan kartografer Eropa.
"Benua itu kemudian menjadi medan pertempuran bagi persaingan Eropa. Kekuatan-kekuatan itu berebut untuk menaklukkan seluruh daratan. Dampak penaklukan Afrika oleh Eropa akan menghantui orang-orang Afrika selama beberapa generasi dan mengubah arah sejarah benua itu selamanya," kata Bailey pada laman The Collector.
David Livingstone, seorang petualang Skotlandia yang terkenal, menjelajahi secara ekstensif wilayah pedalaman benua tersebut, yang sebelumnya tidak pernah dijangkau oleh orang Eropa. Sebelumnya Eropa hanya mendirikan pemukiman perdagangan kolonial kecil di sepanjang pantai Afrika, sebagian besar untuk membantu perdagangan budak transatlantik.
Namun kemudian Inggris mengesahkan Undang-Undang Perdagangan Budak pada tahun 1807 yang menjadikan perbudakan ilegal. Hal ini diikuti AS yang melarang impor budak pada tahun 1808. Sayang, berakhirnya perdagangan budak tidak akan mengakhiri kolonialisme Eropa.
Negara-negara Eropa mulai memperluas wilayah Afrika mereka dengan cepat. Prancis mengambil alih Aljazair pada tahun 1830. Inggris memperoleh kendali atas Koloni Tanjung (Afrika Selatan modern) pada tahun 1877 dan Pantai Emas (Ghana modern) pada tahun 1874.
Portugis menguasai koloni Angola, Mozambik, dan Guinea-Bissau. Sebenarnya negara ini telah hadir sejak lama di Afrika yaitu sejak abad ke-15 dengan menguasai rute perdagangan di pantai timur benua tersebut.
Pada tahun 1870-an, Eropa menguasai 10 persen wilayah benua Afrika. Ada beberapa faktor utama pada abad ke-19 berkontribusi pada perluasan kolonial Eropa di Afrika. Yang terpenting, Inggris menghadapi defisit perdagangan yang terus meningkat, mengekspor lebih banyak barang daripada mengimpornya, yang menjadi perhatian ekonomi yang besar bagi kekuatan di daratan Eropa.
Semua itu terjadi bertepatan dengan depresi panjang, salah satu resesi ekonomi terparah dalam sejarah, yang dimulai pada tahun 1873. Eropa terutama Inggris, terpukul keras dan banyak negara mulai mengadopsi kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis. Afrika dan bahan bakunya yang melimpah memberi peluang untuk menumbuhkan pasar terbuka baru bagi perdagangan dan investasi modal.
Persaingan yang terus-menerus terjadi antara kekuatan-kekuatan Eropa juga kemungkinan berkontribusi pada perebutan tanah. Sumber daya dan potensi ekonomi Afrika akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi mereka yang memperoleh pijakan terbesar di daratan tersebut.
Benua tersebut juga memiliki nilai strategis yang besar. Afrika merupakan persimpangan penting bagi perdagangan antara Eropa dan Asia. Terusan Suez di Mesir dan Tanjung Afrika Selatan merupakan posisi strategis yang vital untuk mengendalikan rute pelayaran.
"Wilayah-wilayah ini sangat penting bagi Inggris dan kepentingan kolonialnya di India dan Tiongkok. Kemunculan dua kekuatan Eropa baru yang ingin mengembangkan reputasi internasional mereka juga akan mengilhami perebutan wilayah," terang Bailey.
Italia secara resmi bersatu pada tahun 1861 dan segera diikuti oleh Jerman pada tahun 1871. Kedua kekuatan itu ingin membangun status mereka di Eropa dan memulai usaha kejayaan mereka. Ada kepercayaan yang dipegang luas bahwa tidak ada negara yang dapat dianggap sebagai negara adikuasa jika tidak menguasai wilayah seberang laut manapun.
Awal tahun 1880-an menyaksikan peningkatan yang signifikan dalam ukuran wilayah Eropa di Afrika. Prancis mencaplok Tunisia pada tahun 1881 dan wilayah yang sekarang dikenal sebagai Republik Kongo pada tahun 1882.
Jerman menguasai Namibia, Togo, dan Kamerun pada tahun 1884. Pada tahun yang sama, Spanyol mengukir wilayah di Maroko. Perhatian Prancis dan Inggris segera tertuju pada Mesir, yang pemimpinnya, Ismail Pasha, mengalami kesulitan keuangan.
Kedua negara memiliki saham yang signifikan di Terusan Suez Mesir. Karena masalah ekonomi terus berlanjut, Inggris dan Prancis mengambil alih tanggung jawab atas ekonomi Mesir.
Pada tahun 1879, pemberontakan nasionalis melawan pengaruh asing dari Turki dan Eropa, yang dikenal sebagai Pemberontakan Urabi. Sebagai tanggapan, Inggris melancarkan invasi militer yang meluas. Pemberontakan itu akhirnya dipadamkan, dan Inggris mengambil alih kendali pemerintahan Mesir.
Konferensi Berlin
Pada bulan November 1884, Kanselir Jerman, Otto von Bismarck, mengadakan konferensi di Berlin untuk membahas kolonisasi Afrika. Perwakilan dari 16 pihak menghadiri konferensi tersebut. Mereka adalah Jerman, Austria-Hongaria, Spanyol, Denmark, AS, Prancis, Inggris, Italia, Belanda, Portugal, Russia, Swedia-Norwegia, Kekaisaran Ottoman, dan perwakilan dari Kongo milik Raja Leopold dari Belgia.
Konferensi tersebut menetapkan aturan untuk kolonialisme Eropa dan memutuskan cara terbaik untuk membagi benua tersebut guna menghindari konflik di antara mereka sendiri. Khususnya, konferensi tersebut menetapkan prinsip pendudukan efektif yang menentukan bagaimana kekuatan Eropa dapat memperoleh wilayah baru.
Konferensi tersebut menegaskan bahwa negara-negara dapat memperoleh tanah jika mereka memiliki perjanjian dengan para pemimpin setempat, menancapkan bendera mereka di sana, dan membentuk pemerintahan untuk mengatur wilayah tersebut dengan pasukan polisi untuk menjaga ketertiban.
Konferensi Berlin juga mengakui wilayah kolonial yang ada saat ini, termasuk kepemilikan pribadi Raja Leopold II atas negara bebas Kongo. Bagi Jerman dan von Bismarck, menjadi tuan rumah Konferensi Berlin menandakan pengakuan status Jerman sebagai kekuatan yang besar.
Meskipun Konferensi Berlin memutuskan pembagian dan nasib Afrika, tidak ada perwakilan Afrika yang diundang untuk hadir. Konferensi Berlin membuka pintu gerbang bagi imperialisme Eropa. hay/I-1