» Dunia harus menjinakkan inflasi dengan menaikkan suku bunga pada saat debt stock-nya tinggi.

» Pemerintah harus melakukan spending atau pengeluaran untuk sektor ekonomi hijau.

JAKARTA - Indonesia harus mewaspadai berbagai potensi risiko yang akan mengancam perekonomian global pada tahun ini. Berbagai potensi risiko tersebut seperti ancaman resesi ekonomi, krisis utang, faktor geopolitik, hingga dampak perubahan iklim atau climate change.

Dana Moneter IMF juga memperkirakan ekonomi global pada 2023 lebih rendah dibandingkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 3,2 persen, bahkan realisasi pertumbuhan 6 persen pada 2021. IMF juga memprediksi sekitar 30-40 persen dari perekonomian negara-negara di dunia akan mengalami resesi pada tahun ini.

Selain ancaman resesi, negara-negara di dunia juga dihadapkan dengan yang sudah tidak berkelanjutan pada 2023. Lembaga tersebut menyebut sebanyak 63 negara di dunia yang utangnya dalam kondisi mendekati bahkan sudah tidak berkelanjutan hingga hal ini menjadi salah satu topik utama dalam gelaran Presidensi G20 Indonesia lalu.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dalam CEO Banking Forum di Jakarta, Senin (9/1), mengatakan potensi resesi tahun ini tecermin dari perkiraan IMF pada ekonomi global yang hanya tumbuh 2,7 persen. "Tahun 2023, dunia harus menjinakkan inflasi dengan menaikkan suku bunga pada saat debt stock-nya tinggi pasti berdampak tidak hanya resesi, tapi di berbagai negara yang utangnya sangat tinggi berpotensi mengalami debt crisis," kata Menkeu.

Apalagi, utang negara-negara di sekitar Asia Selatan saat ini semuanya sedang kondisi stres, mulai dari Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan yang masuk menjadi pasien IMF.

Tak hanya berhenti sampai di situ, pergeseran fundamental yang terjadi pada geopolitik turut memperparah dunia yang sedang dihadapkan dalam kondisi risiko ekonomi dan keuangan karena akan mengganggu supply chain global.

Isu "Mainstream"

Hal yang tak kalah mengancam adalah perubahan iklim yang saat ini sudah menjadi pembicaraan mainstream di dunia termasuk dalam financial market.

Perubahan iklim, papar Menkeu, sudah menjadi topik utama dalam G20 termasuk mengenai sustainable finance dan memasukkan risiko perubahan iklim terhadap setiap keputusan perencanaan penganggaran di sektor keuangan.

"Termasuk perbankan, akan mengalami regulasi yang harus dipertimbangkan di mana climate change menjadi faktor risiko yang di-recognize bisa mempengaruhi tidak hanya sustainability, tapi juga sistematically important," tegasnya.

Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Wasiaturrahma, yang diminta pendapatnya mengapresiasi kewaspadaan Menkeu tersebut, namun dengan sejumlah tanda-tanda positif, ia optimistis kondisi ekonomi nasional akan membaik.

"Inflasi saat ini sudah turun lebih tajam dari ekspektasi. Supply chain disruption juga sudah dikelola dengan baik. Shipping cost turun drastis. Problem kebergantungan Eropa pada energi Russia diperkirakan tahun ini akan memiliki jalan keluar. Selain itu, sektor perbankan di negara-negara maju balance sheet-nya sehat. Tiongkok menghentikan lockdown," kata Wasiaturrahma.

Walaupun the Fed menaikkan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) 75 basis point (bps) atau 0,75 persen, outlook ekonomi tahun ini katanya tidak buruk.

Pada kesempatan lain, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya, mengatakan hal yang harus dilakukan pemerintah adalah pertama melakukan spending atau pengeluaran untuk sektor ekonomi hijau, seperti pengembangan energi terbarukan, dan mengundang investasi hijau yang berdampak baik untuk lingkungan, termasuk mengembangkan ecotourism, pertanian organik, dan lain sebagainya.

"Jadi, ekonomi terstimulus dan tidak merusak lingkungan," ungkap Tata.

Kedua, pemerintah harus konsisten memberikan insentif bagi sektor hijau dan usaha mikro dan kecil (UMK) dan memperluas disinsentif untuk sektor pencemar, seperti batu bara. Selain itu harus segera mengenakan tarif pajak karbon untuk pembangkut listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Ketiga, pemerintah menerapkan windfall profit tax/pajak progresif untuk keuntungan batu bara yang luar biasa besar dengan harga yang berada di atas 300 dollar AS. Pajak tersebut dapat digunakan untuk spending pemerintah di sektor ramah lingkungan.

Dengan demikian, meskipun ada ancaman resesi global, Indonesia dapat mencapai tiga hal sekaligus, yaitu, ekonomi tetap tumbuh sehingga lapangan kerja tercipta, lingkungan terjaga, dan pemerataan ekonomi.

Baca Juga: