KUALA LUMPUR -Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lain harus mengikuti jejak Malaysia dan terlibat dengan pemerintah sipil bayangan Myanmar, National Unity Government (NUG), dalam upaya membantu menyelesaikan krisis pascakudeta di negara itu. Hal itu disampaikan oleh seorang pakar PBB pada Kamis (23/6).

"Selain itu, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Asean) membutuhkan pendekatan baru dalam berurusan dengan junta Myanmar untuk memastikan agar bisa menempatkan negara itu kembali ke jalur demokrasi seperti yang disepakati lebih dari setahun yang lalu," kata Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia, Tom Andrews, dalam sebuah konferensi pers di Kuala Lumpur pada Kamis saat ia mengakhiri kunjungannya selama 8 hari di Malaysia.

"Konsensus lima poin tidak ada artinya jika hanya tersimpan di atas selembar kertas," kata Andrews, merujuk pada kesepakatan yang dicapai antara negara-negara anggota Asean, termasuk Myanmar, tentang bagaimana junta harus bertindak menuju pemulihan demokrasi.

"Satu-satunya kesempatan untuk membuat perbedaan adalah dengan memasukkannya ke dalam tindakan yang bermakna dengan strategi, dengan rencana aksi, dengan kerangka waktu, persis seperti yang diminta oleh menteri luar negeri (Malaysia)," kata Andrews, merujuk pada Saifuddin Abdullah.

Malaysia, yang telah mengecam keras kudeta 1 Februari 2021, juga secara konsisten menyerukan tindakan yang lebih tegas dari blok regional untuk membuat junta di Myanmar menerapkan konsensus yang telah disepakati pada April 2021, tetapi kemudian diabaikan.

"Asean harus kembali ke papan perencanaan dan menerapkan peta jalan yang lebih rinci untuk mencapai konsensus lima poin dalam jangka waktu yang tepat," kata Menlu Saifuddin saat berbicara pada panel Dialog Shangri-La di Singapura awal bulan ini.

Ubah Kebijakan

Konsensus lima poin yang dicapai antara para pemimpin Asean dan ketua junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pada 24 April tahun lalu termasuk diakhirinya kekerasan, pemberian bantuan kemanusiaan, penunjukan utusan Asean, dialog dengan semua pihak, dan mediasi oleh utusan.

Sejauh ini Asean belum berhasil menerapkan poin-poin ini, dan sebagian besar analis mengatakan blok regional harus disalahkan untuk hal ini karena tidak semua negara di Asean mendukung tekanan pada sesama anggotanya, yang berarti blok itu tidak bisa terlalu efektif.

Pada Oktober lalu, Menlu Malaysia secara blak-blakan mengatakan bahwa Kuala Lumpur akan membuka saluran pembicaraan dengan NUG jika junta di Myanmar terus menghalangi kerja sama dengan upaya resolusi konflik Asean.

Pada Februari lalu, Menlu Malaysia bertemu dengan Menlu NUG, Zin Mar Aung, melalui konferensi video, yang diikuti dengan pertemuan langsung di Washington DC pada 16 Mei setelah KTT Khusus Amerika Serikat-Asean.

Dalam sebuah sesi wawancara pada Mei lalu, Menlu Saifuddin mengatakan bahwa banyak orang di Asean yang frustasi karena militer Myanmar mengabaikan konsensus lima poin.

"Saya kira kita harus lebih kreatif dan itu sebabnya, kita (perlu) mulai terlibat dengan para pemangku kepentingan seperti NUG dan semuanya," kata Menlu Saifuddin.

Sementara itu Andrews mengatakan dirinya percaya dengan berdialog dengan NUG adalah langkah yang benar dilakukan oleh negara anggota Asean seperti Malaysia dan langkah ini harus diikuti oleh negara lain.

Andrews juga mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Kamis bahwa Menlu Saifuddin telah mendesak Asean untuk mengubah kebijakan "non-intervensi" ke kebijakan "non-indiferen" (tanpa pengabaian). RFA/I-1

Baca Juga: