Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg telah menyarankan bahwa aliansi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) mengantisipasi konflik jangka panjang di Ukraina karena invasi Rusia berubah menjadi "perang gesekan". Stoltenberg mengatakan sulit untuk memprediksi bagaimana atau kapan konflik akan berakhir.

Hal itu disampaikan langsung oleh Stoltenberg kepada wartawan di luar Gedung Putih setelah bertemu dengan Presiden AS Joe Biden pada hari Kamis (1/6).

"Perang pada dasarnya tidak dapat diprediksi dan oleh karena itu, kita hanya harus bersiap untuk jangka panjang karena apa yang kita lihat adalah bahwa perang ini sekarang telah menjadi perang gesekan di mana Ukraina membayar harga tinggi untuk membela negara mereka sendiri di medan perang, tetapi juga di mana kita melihat bahwa Rusia mengambil banyak korban," kata Stoltenberg, seperti dikutip dari Al Jazeera.

Dia menambahkan bahwa "tanggung jawab" NATO adalah memberikan dukungan untuk Ukraina. Stoltenberg sendiri menegaskan bahwa perang, seperti kebanyakan konflik, akan berakhir di meja perundingan.

Rusia melancarkan invasi habis-habisan ke Ukraina pada 24 Februari setelah kebuntuan selama berbulan-bulan yang membuat Moskow mengumpulkan pasukan di dekat perbatasan Ukraina ketika Presiden Rusia Vladimir Putin menuntut diakhirinya ekspansi NATO ke bekas republik Soviet.

Setelah gagal merebut ibu kota, Kyiv, Rusia telah mengurangi tujuan perangnya, mengalihkan upaya perangnya ke wilayah Donbas timur dan bagian selatan Ukraina.

Al Jazeera menuturkan AS dan sekutunya telah memasok Ukraina dengan senjata dan melatih pasukan Ukraina di lokasi-lokasi di luar negeri. Pada hari Rabu, Biden mengumumkan paket bantuan senjata baru senilai 700 juta dolar AS ke Ukraina yang mencakup sistem roket canggih dan rudal anti-pesawat.

Sementara itu, Kremlin terus memperingatkan bahwa pengiriman senjata Barat ke Ukraina akan memperpanjang perang.

"Pemompaan Ukraina dengan senjata ini akan membawa lebih banyak penderitaan ke Ukraina, yang hanyalah alat di tangan negara-negara yang memasoknya dengan senjata," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.

Pada hari Kamis, Stoltenberg mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin menginginkan "lebih sedikit NATO" ketika dia menginvasi Ukraina, "tetapi dia mendapatkan lebih banyak NATO" ketika Finlandia dan Swedia justru terdorong untuk bergabung dengan aliansi tersebut.

Baca Juga: