Nasib tragis menimpa Muhammad Alzahra (MA) alias Joya. Pria itu dikeroyok dan dibakar hidup-hidup oleh warga di Kabupaten Bekasi, Selasa (1/8), pukul 16.30 WIB. MA dituduh sebagai pencuri amplifier milik Mushala Al-Hidayah di Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi. MA dikeroyok dan dibakar hidup-hidup di Pasar Muara Bakti, Desa Muara Bakti, Babelan, Kabupaten Bekasi.

Perilaku main hakim sendiri seperti mengeroyok dan membakar orang itu, apa pun alasannya, tindakan tersebut bukan saja mencederai hukum, tapi juga melukai rasa kemanusiaan. Hukum mengajarkan ketika hendak menghukum seseorang, aspek yang harus dipertimbangkan salah satunya agar menumbuhkan efek jera. Namun, bukan berarti penumbuhan efek jera tersebut harus menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan membakar hidup-hidup jelas menyalahi ajaran agama dan melukai nurani kemanusiaan.

Mengapa belakangan publik mudah sekali tersulut emosi sehingga sering gegabah dalam melakukan tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan? Hal itu lantaran ada yang hilang dari hati nurani masyarakat sehingga tega membakar Joya hidup-hidup. Kami mengajak seluruh masyarakat untuk merenung lebih dalam sekaligus tetap menghormati segala proses hukum dan pengusutan kasus ini. Ini penting dilakukan untuk menghindarkan spekulasi atau provokasi. Diharapkan juga aparat kepolisian mengusut tuntas serta memproses pihak-pihak yang dinyatakan bersalah dalam kasus ini.

Kasus pembakaran MA yang dituduh mencuri amplifier di Mushala Al-Hidayah di Desa Hurip Jaya, Babelan, Kabupaten Bekasi itu seharusnya dapat membangunkan kesadaran terhadap bahaya main hakim sendiri. Kisah tragis yang menewaskan bapak satu anak itu juga membuat warga sadar bahwa ada sesuatu yang salah di Indonesia yang disebut sebagai negara hukum.

Seharusnya warga membuktikan terlebih dahulu semua tuduhan yang ditudingkan kepada Muhammad Alzahra. Jangan menghakimi seseorang hingga sampai merenggut nyawanya. Meski pelaksanaannya seringkali mengecewakan dan tidak berpihak pada rakyat kecil, hukum harus tetap dipatuhi dan ditegakkan.

Terduga pelaku pencurian maupun orang-orang yang membakarnya hidup-hidup pun, sudah seharusnya diserahkan kepada polisi dan diproses sesuai jalur hukum. Penjahat perang atau genosida yang secara sengaja menghilangkan nyawa ribuan atau jutaan orang sekalipun, berhak berdiri di depan pengadilan untuk membela diri sebelum akhirnya dijatuhi hukuman mati.

Hak itulah yang seharusnya juga diberikan kepada Muhammad Alzahra yang baru diduga mencuri amplifier. Entah apakah massa tersulut emosi saat menangkap terduga pencuri hingga melupakan hak paling mendasar manusia untuk diberi kesempatan hidup dan membela diri. Jika saja ada sedikit upaya menahan diri, pastilah tidak sulit mengetahui apakah MA yang berprofesi sebagai tukang servis elektronik ini benar-benar mencuri amplifier. Kita melupakan fakta sederhana bahwa MA adalah kepala keluarga. Istrinya yang sedang hamil 6 bulan dan anak berusia 4 tahun, sedang menunggunya di rumah.

Diharapkan semua pelaku pembunuhan terhadap MA segera ditangkap dan dihukum sesuai perbuatannya untuk memberi efek jera dan menjadi pelajaran masyarakat lain. Apabila ada kejadian seperti itu, diharapkan tidak sampai membunuh dan membakar orang hidup-hidup.

Rehabilitasi terhadap mental anak dan keluarganya juga sangat diperlukan. Sebab peristiwa ini bisa menciptakan dendam yang berlarut-larut bila tidak ditangani secara baik. Karena itu perlu ada pendekatan psikologi dan penanganan komprehensif supaya ada kesembuhan di keluarganya, serta dibantu secara materi.

Negara harus mengurus keluarga korban. Negara harus bertanggung jawab untuk menyantuni keluarga MA. Tragedi yang menimpa MA menjadi bukti kuat bahwa aksi main hakim sendiri tak bisa dibenarkan.

Baca Juga: