JAKARTA - Para ekonom menyayangkan sikap pemerintah yang kurang terbuka mengenai pengelolaan utang dengan selalu menyampaikan pernyataan kalau tingkat utang Indonesia masih dalam ambang batas aman. Padahal kalau menggunakan parameter yang lain dinilai sudah sangat tidak sehat.

Pemerintah memaparkan rasio utang terhadap PDB untuk melegitimasi tingkat utang Indonesia masih di level aman, padahal itu bias dan tidak menunjukkan risiko yang sebenarnya dari utang pemerintah yang telah mencapai lebih dari 8.000 triliun rupiah.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, baru-baru ini mengatakan rasio utang terhadap PDB tidak bisa menjadi satu-satunya patokan untuk menilai level utang Indonesia. Dana Moneter Internasional (IMF) sendiri menggunakan rasio utang terhadap penerimaan atau Debt to Service Ratio (DSR) untuk menilai aman tidaknya level utang sebuah negara. Menurut Eko, dengan utang Indonesia yang mencapai 8.000 triliun rupiah, maka rasio utang terhadap pendapatan Indonesia sudah mencapai 300 persen.

Level itu telah melanggar aturan IMF yang menyebut batas aman DSR adalah 150 persen. "Kita sudah dua kali lipat," ujarnya. Ekonom senior, Didik J Rachbini, pun menilai pemerintah kerap menggunakan narasi utang Indonesia masih aman dengan membandingkannya dengan negara lain.

Padahal menurut dia, kondisi Indonesia dengan negara lain amat berbeda. Jadi itu sangat menyesatkan. Dia mencontohkan Jepang yang memiliki debt to GDP ratio sebesar 261,3 persen. Rasio itu memang jauh di atas utang Indonesia yang berada di level 40 persen dari GDP. Namun, bunga utang yang harus dibayarkan Indonesia jelas lebih tinggi dari Jepang. "Jika pemerintah menyebut rasio utang terhadap PDB belum 100 persen, maka kalau dibandingkan dengan Jepang, meskipun utang Jepang 100 persen, tapi kalau bunganya 0,7-0,9 persen, maka pembayaran bunganya saja akan kecil," kata Didik.

Lebih Umum

Menanggapi hal itu, Kementerian Keuangan menjelaskan alasan menggunakan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (Debt to GDP ratio) untuk menilai risiko utang Indonesia. Kemenkeu menyebut debt to GDP ratio lebih umum dipakai oleh negara-negara lain ketimbang rasio utang lainnya.

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Riko Amir, seperti dikutip di Jakarta, Senin (30/9), mengatakan kelaziman penggunaan debt to GDP ratio itu memberikan keuntungan untuk Indonesia. Dengan begitu, Indonesia bisa mengetahui posisi risiko utang dibandingkan negara lain yang sederajat. "Jadi, positioning- nya juga kita berada di mana sih dari tataran negara-negara lain," kata Riko.

Baca Juga: