Pemilihan Presiden (Pilpres) Prancis menjadi kian menantang bagi pemilih yang memiliki latar belakang imigran dan kelompok minoritas, khususnya perihal agama, setelah wacana kampanye yang cenderung menggambarkan mereka sebagai "pihak lain" telah berkembang di sebagian besar masyarakat Prancis.

Marine Le Pen, capres dari kelompok sayap kanan mengakhiri kampanye yang menurut para pakar didominasi oleh wacana diskriminatif yang menargetkan imigran dan umat Islam di Prancis. Setelah dirinya melarang simbol agama di publik, termasuk melarang perempuan Muslim untuk mengenakan Jilbab, bahkan menetapkan denda.

AP merangkum, Partai National Rally yang menaungi Le Pen, memiliki sejarah hubungan dengan neo-Nazi, penyangkal Holocaust, dan milisi yang menentang perang kemerdekaan Aljazair dari kolonial Prancis. Namun, Le Pen telah menjauhkan dirinya dari masa lalu itu dan melunakkan citra publiknya.

Kendati demikian, prioritas utama L e Pen dalam kampanyenya tetap lebih memprioritaskan tunjangan kesejahteraan warga negara Prancis daripada kelompok imigran. Hal ini juga turut membuat Le Pen dinilai melembagakan diskriminasi.

Walau kalah dengan mudah pada pemilu 2017. Kini Le Pen, telah secara signifikan mempersempit kesenjangan dukungan publik dibandingkan dengan jumlah suara yang dia peroleh pada Pemilu sebelumnya. Kala itu Le Pen kalah setelah hanya berhasil meraup 34 persen suara warga Prancis, jauh tertinggal dari perolehan suara Macron sebesar 66 persen.

Naila Ouazarf, warga Muslim perancis merasa tertekan dengan kemungkinan Le Pen dapat memimpin negaranya sebagai Presiden selanjutnya. Dirinya bahkan mengatakan akan menentang hukum yang dijanjikan jika Le Pen menjadi presiden dan membayar denda.

"Saya ingin seorang presiden yang menerima saya sebagai pribadi," kata Ouazarf kepada AP.

Abdourahmane Ridouane, direktur masjid Pessac mengungkapkan ketakutannya atas diskriminasi yang akan diterima umat Muslim Prancis jika Le Pen berhasil menang.

"Jika Le Pen berhasil mengambil alih kekuasaan, itu akan menjadi hal terburuk yang pernah kita lihat," katanya.

Mengenai kampanye diskriminatif lawannya, Emmanuel Macron dengan tegas mengatakan larangan simbol agama di publik, termasuk hijab akan memicu perang saudara di Prancis sebagai negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa Barat.

"Kita tidak boleh terbiasa dengan munculnya ide-ide sayap kanan," kata Macron.

Macron juga tak sepenuhnya terlepas dari imej diskriminasi terhadap umat Muslim di negara tersebut. AP merangkum Prancis di bawah pimpinan Macron mengesahkan undang-undang melawan terorisme yang memperluas hak pemerintah untuk menggeledah orang, melakukan pengawasan, mengontrol gerakan dan menutup beberapa sekolah dan situs keagamaan atas nama memerangi ekstremisme.

Pengawas hak asasi manusia juga telah memperingatkan undang-undang itu karena bersifat diskriminatif.

"Dalam beberapa kasus, Muslim mungkin menjadi sasaran karena praktik keagamaan mereka, dianggap 'radikal,' oleh pihak berwenang, tanpa membuktikan mengapa mereka menjadi ancaman bagi ketertiban atau keamanan publik," kata Amnesty International seperti dikutip AP.

Pada tahun 2021, pemerintah Prancis lagi-lagi mengeluarkan undang-undang lain yang menargetkan apa yang disebut Macron sebagai "separatisme" oleh kaum radikal Muslim. Langkah itu memperluas pengawasan negara terhadap asosiasi dan situs keagamaan.

Islam adalah agama dengan pemeluk terbanyak kedua di Prancis, sekaligus menjadikan Prancis negara dengan jumlah umat Islam terbanyak di Eropa Barat, meskipun tidak ada data pasti tentang ras dan agama pemilih karena doktrin "buta warna" Prancis seperti diberitakan AP.

Menurut AP, doktrin ini memandang semua warga negara sebagai Prancis secara universal dan mendorong asimilasi. Namun, para kritikus mengatakan prinsip itu memungkinkan pihak berwenang untuk mengabaikan diskriminasi yang mendalam.

Baca Juga: