Judul : Tony Wenas

Penulis : Robert Adhi

Penerbit : Gramedia

Cetakan : 2017

Tebal : 295 halaman

ISBN : 978-602-03-4624-3

Bidang pertambangan, kehutanan, dan musik adalah dunia yang sangat berbeda. Ketiganya sulit dikusai sekaligus. Tony Wenas berbeda. Dia bisa menyatukan ketiga bidang tersebut dalam balutan profesi yang menakjubkan. Meskipun profesional di bidang pertambangan dan kehutanan, Tony tetap bermusik. Rhenald Kasali, teman sekelasnya di sekolah Kanisius, menilai Tony mampu memaksimalkan otak kiri dan otak kanan sekaligus. "Jarang ada orang seperti Tony," kata Guru Besar Universitas Indonesia ini (hlm xii ).

Buku ini mengisahkan kesuksesan Tony Wenas memimpin perusahaan multinasional berbasis kemampuan musik yang ditekuni sejak kecil. Tapi, kegiatan musik sekarang sekadar hobi. Namun, dalam setiap konser, dia tetap menampilkan seorang profesional. Dia serius mempersiapkan konser musik seserius bekerja sebagai profesional di perusahaan-perusahaan multinasional. "Musik adalah pekerjaan Tony dan CEO adalah pekerjaan sampingannya," kata sahabat dan koleganya saat ini (hlm xx).

Jejak kesukaan dan bakatnya pada musik bisa dilacak sejak balita. Pada usia 4, Tony sudah mampu menyanyikan lagu orang dewasa Ten Guitarist. Lagu tersebut awalnya dibawakan penyanyi Inggris, Engelbert Humperdink, pada tahun 1967. Pada usia 13, Tony mampu memainkan lagu berirama ragtime.

Ketika berusia remaja, Tony bercita-cita menjadi musikus. Dia berhasil mewujudkannya dalam waktu 6 sampai 7 tahun kemudian melalui band Solid 80 yang dibentuk bersama kawan-kawan kampus. Walau sibuk konser, nilainya selalu bagus (hlm 97). Saat itu profesi musikus belum menjanjikan, akhirnya Tony memilih bekerja sebagai profesional.

Pada awal karier, Tony lebih fokus pada pekerjaan. Baru setelah mapan, penikmat wine ini kembali nge-band, menyanyi, dan memainkan alat musik. Tony diterima bekerja di Freeport. Dalam durasi 7 tahun, kariernya melesat sampai Vice President. Di mata Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Tony memiliki kemampuan leadership yang sangat efektif. Dia mampu menggerakkan orang-orang dalam organisasi, tanpa menonjolkan diri.

Penghargaan demi penghargaan sebagai CEO terbaik yang diterima sepanjang 2016 merupakan apresiasi. Dia selalu menegaskan, keberadaannya di perusahaan harus memberi manfaat lebih bagi banyak pihak. Dia tidak mau menjadi CEO rata-rata (hlm 216).Tidaklah heran bila namanya masuk shortlisted beberapa headhunter terkemuka. Suami Shita ini sering menyampaikan pengalamannya mengelola dan memimpin perusahaan ibarat memimpin orkestra.

Seorang pemimpin orkestra tahu kapan pemain tertentu harus dominan dan lembut. Bagi Tony, memimpin lima manajer dalam perusahaan jauh lebih mudah dari membawahi 5 pemain band yang egonya cenderung sama-sama tinggi (hlm 189).

Tony bisa jadi satusatunya CEO yang masih nge-band dan dibayar secara profesional. Dengan cara itu, dia sebenarnya juga ingin menegaskan, musisi harus dihargai secara profesional. Menurut Tantowi Yahya, sukses dalam kehidupan profesional dan sebagai musisi bukti nyata, seorang seniman bisa dipercaya memimpin perusahaan.

Buku ini tidak sekadar mengungkap perjalanan hidup seorang Tony Wenas, tetapi juga memaparkan kiat- kiat seorang seniman pencipta musik yang berhasil memimpin perusahaan pertambangan dan kehutanan.

Diresensi Muhammad Aminulloh, Alumnus STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo

Baca Juga: