Oleh Anang Hermansyah

Tiga tahun terakhir, berkiprah dalam panggung politik di parlemen ada pengalaman cukup berharga di ruang kerja baru yang sebelumnya sama sekali tak pernah terbayangkan. Meski, gen sebagai politikus bukan baru di keluarga. Almarhum ayah, pada awal Orde Baru pernah menjadi anggota dewan di Kabupaten Jember.

Kerja politik melalui parlemen secara konstitusional berfungsi sebagai legislasi, anggaran, serta pengawasan. Sedangkan Komisi X DPR itu sendiri membidangi pendidikan, pemuda, pariwisata, seni, dan budaya. Terus terang, sejak masuk dalam politik praktis di parlemen, saya mengincar bidang yang memang selama puluhan tahun telah saya geluti, yakni bidang musik. Dengan Latar belakang sebagai musikus jalanan dari kampung kecil di Jember, Jawa Timur, saya memiliki segudang mimpi soal kerja konstitusional DPR.

Anugerah Tuhan melalui keterampilan bermusik secara otodidak seperti menulis syair lagu serta bermain musik mengantarkan saya dari jalanan, masuk dalam komunitas Gang Potlot. Di sini berhasil menelurkan grup band Kidnap. Namun kini saya berkarier solo.

Persoalan laten dunia musik seperti pembajakan karya menjadi salah satu pendorong untuk berjuang melalui jalur politik parlemen. Pembajakan karya musik ibarat penyakit ganas yang mematikan industri ini. Karya musik yang masih termanifestasikan melalui pita kaset, compact disc hingga media dalam jaringan (daring) tak luput dari kejahatan pembajakan.

Latar belakang tersebutlah yang mendorong saya terjun langsung ke gelanggang perumusan kebijakan publik. Fungsi DPR cukup vital dalam sistem politik berupa fungsi legislasi untuk membuat UU, menyusun anggaran pendapatan belanja negara (APBN), serta mengawasi kinerja eksekutif.

Dengan penuh kesadaran diri, seorang musikus terjung ke panggung politik melalui kontestasi pemilu tidak sedikit cibiran publik. Sikap nyinyir publik di antaranya dengan tudingan cukup sarkastis. Mereka menuding musisi terjun ke politik karena tidak laku dalam industri. Musisi atau pekerja seni hanya menjadi komoditas partai politik sebagai vote getter. Belum lagi tudingan pekerja seni terjun ke jalur politik karena tidak memiliki kapabilitas dan keterampilan politik di parlemen.

Saya sendiri pernah merasakan menjadi korban perundungan publik di Tanah Air, saat salah satu pewarta stasiun televisi usai gladi resik acara pelantikan anggota DPR/MPR pada akhir September 2014 menanyakan fungsi DPR. Saya dapat memaklumi adanya pembingkaian (framing) oleh publik dalam melihat politisi yang berlatar belakang figur publik. Stigmatisasi figur publik tidak mengerti politik tentu tidak bisa disalahkan. Apalagi jika melihat dari perspektif riwayat pendidikan. Tidak banyak figur publik, termasuk kebanyakan anggota DPR, memiliki gelar sarjana ilmu politik.

Meski publik seharusnya mengetahui juga dalam khazanah parlemen modern saat ini, strukturnya terdapat unsur representasi politik yakni perwakilan melalui prosedur parpol, representasi teritorial, perwakilan daerah sebagai implementasi double check khususnya di negara besar dan kompleks. Ada juga representasi fungsional yang mencerminkan keterwakilan fungsional seperti dari kelompok profesi dan pekerja (Jimly Asshiddiqie, 2007).

Kendati sistem politik saat ini secara formal hanya membuka satu pintu rekrutmen anggota DPR melalui jalur parpol, dalam praktiknya, partai dalam rekrutmen calon anggota DPR mempertimbangkan aspek daerah serta fungsional calon. Dengan kata lain, kalangan figur publik berlatar belakang musisi, artis, insinyur, pengusaha, dan sejenisnya bisa dikelompokkan sebagai representasi fungsional.
Jalur Karier

Panggung di Senayan benar-benar baru. Namun, hal itu tak menyiutkan nyali untuk berinteraksi politik dengan sesama rekan satu fraksi, antarfraksi, satu komisi termasuk antarkomisi. Dalam benak, situasi yang sama juga pernah mengalami saat memastikan bahwa musik merupakan jalur karier saya. Ketiadaan modal, jejaring, serta berasal dari kota kecil. Namun, waktu telah menjawab setiap perjuangan dan ikhtiar di jalur musik.

Nah, terkait kerja parlemen, sedikitnya dibutuhkan waktu satu semester atau enam bulan untuk membuktikan komitmen memperjuangkan profesi musikus. Pada bulan Maret 2015, saya menjadi inisiator pembentukan "Kaukus Parlemen Antipembajakan" dengan 71 anggota DPR lintas fraksi dan komisi. Isu utamanya, parlemen memberi pesan politik antipembajakan atas karya cipta dan kreativitas bangsa baik musik, buku, desain, maupun lainnya.

Langkah tersebut cukup efektif. Setidaknya setelah Kaukus Parlemen Antipembajakan bersafari ke sejumlah pimpinan lembaga penegak hukum, tempat pembajakan tak lagi dijumpai. Sayang, situasi itu tak berlangsung lama karena karakteristik aparat penegak hukum yang hit and run. Di samping itu, tidak ada sistem baku sehingga penegakan hukum hanya musiman. Namun, tak bisa sepenuhnya menyalahkan penegak hukum.
Setelah berkali-kali dilakukan dan pembajakan berkurang hanya di saat penegakan, maka pada pertengahan tahun 2017, bersama musisi Tanah Air diajukan RUU Permusikan untuk meletakkan sistem tata kelola musik Indonesia. DPR dan pemerintah pun menyepakati RUU Permusikan masuk dalam daftar panjang program legislasi nanasional (prolegnas).

RUU Permusikan demi kepentingan profesi para musikus. Secara politis, saya mewakili parpol dan profesi musikus. Karut-marut persoalan musik tentu tidak selesai hanya di tangan politisi bergelar sarjana politik. Hal yang sama, membahas soal pertanian, kesehatan, agama, dan hukum, tidak cukup diselesaikan sarjana ilmu politik. Semua membutuhkan sentuhan para ahli di bidangnya yang mewakili profesi. Di sinilah urgensi para ahli hadir di DPR agar produk legislator dapat mencerminkan aspek sosiologis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Penulis Anggota Komisi X DPR, Musikus

Baca Juga: