Saat ini dunia sibuk dengan terjadinya pemanasan global, yang utamanya disebabkan oleh berlanjutnya peningkatan gas rumah kaca. Pelepasan gas ini intinya adalah penguraian biomassa yang berasal dari semua kehidupan yang diciptakan di atas bumi ini. Pada awal pembentukan bumi, atmosfirnya tidak mengandung oksigen, susunan utama berupa gas nitrogen dan karbondioksida sehingga suasananya sangat panas. Penyerapan karbon dari udara dilakukan oleh kegiatan fotosintesis menghasilkan gula yang kemudian dikonversi menjadi berbagai jasad hidup yang dinamai flora dan fauna. Mahluk awal yang diciptakan adalah flora sederhana yang mampu bertahan di suasana panas yaitu ganggang hijau. Bukti ini masih dapat disaksikan dengan keberadaan ganggang hijau di saluran atau aliran air panas yang berasal dari kegiatan vulkanik. Saking banyaknya simpanan karbon di atas dan bawah permukaan bumi, maka kandungan karbon dioksida di atmosfier saat ini hanya sekitar 0,04 persen, sedangkan kandungan oksigen yang merupakan hasil kegiatan fotosintesis saat ini mencapai > 19 persen.

Ulasan berikut lebih memberikan pemahaman tentang kondisi di Indonesia sebagai negara tropis yang mengalami proses evolusi kegiatan geologis dan kegiatan manusia yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kebutuhan hidupnya.

Simpanan karbon di atas permukaan bumi (daratan dan perairan), baik berupa mahluk hidup atau yang sudah mati merupakan simpanan karbon sementara. Nantinya ketika mahluk hidup ini mati, jasadnya akan mengalami proses pelapukan/dekomposisi oleh mikroba dan kembali sebagai gas karbondioksida ke udara. Saat ini banyak usaha untuk mempertahankan atau meningkatkan simpanan karbon aktif (terbarukan) misalnya melalui:

  1. Mempertahankan hutan alami yang sebetulnya dapat sekaligus menjaga kelestarian penahanan air hutan lebih lama di daratan terutama di wilayah tangkapan air pada suatu daerah pengaliran sungai
  2. Berbagai bentuk perkebunan dan hutan tanaman industri. Pemanfaatan dan perlindungan ini sangat ditentukan oleh berbagai aturan dan kepatuhan terhadap aturan tersebut, baik oleh para pemegang konsesi, maupun oleh masyarakat.
  3. Restorasi ekosistem gambut dan rehabilitasi mangrove yang dimulai setelah kejadian kebakaran hebat pada tahun 2015 (Badan Restorasi Gambut/BRG 2016 - 2020 dan plus Mangrove tahun 2021 - 2024)
  4. Penanggulangan kebakaran yang diinisisasi oleh BNPB dengan melibatkan sektor lain, mencegah kebakaran dengan hujan buatan (misalnya kerjasama dengan BPPT dan BMKG).

Simpanan karbon di bawah permukaan dan yang terekspose di permukaan bumi merupakan karbon yang tidak lagi masuk dalam daur aktif karbon (fosil) karena tidak dapat terurai secara alami. Yang terakhir inilah sebetulnya yang dapat dikatakan sebagai simpanan karbon (carbon sink) sebagai faktor utama terjaganya kestabilan iklim dari perubahan yang semakin panas pada saat ini.

  1. Simpanan karbon aktif di perairan lepas pantai laut dangkal berupa kelompok terumbu karang dengan bangun rangka badannya berupa kalsium karbonat, yang kalau dibiarkan berkembang akan dapat menyimpan karbon dioksida sebanyak maksimum 44 persen dari berat keringnya. Terumbu karang ini tersebar sampai kedalaman sekitar 200 m (zona neritic) dimana masih terdapat biasan cahaya matahari yang diperlukan untuk proses fotosintesisnya. Selanjutnya pada laut yang lebih dalam mahluk lebih renik tidak memerlukan sinar matahari yang juga menggunakan kalsium karbonat untuk penyusun tubuhnya, yaitu marl.
  2. Simpanan karbon di atas permukaan bumi merupakan simpanan karbon yang terumbu karang dan marl yang terangkat akibat pergerakan lempeng bumi dan terekspose sebagai kelompok batu kapur (antara lain: karst/batu gamping, marl, marmer, dolomit, aragonite).
  3. Simpanan karbon yang berasal dari flora rawa yang ada di permukaan bumi terbentuk pada zaman holosin, kita kenal sebagai ekosistem gambut. Gambut yang terbentuk pada masa yang lebih tua dan terkena pergerakan lempeng, masuk mendapat tekanan sehingga membara tanpa kehadiran oksigen, kita kenal sebagai batubara.
  4. Golongan minyak bumi, termasuk gas alam dan aspal merupakan simpanan karbon yang tidak aktif dalam daur karbon, berasal dari kegiatan jasad renik di perairan pantai masa lalu yang juga mengalami pembalikan akibat pergerakan lempeng.

Indonesia mempunyai semua bentuk rantai karbon yang tersimpan sebagai karbon yang mendaur (aktif) dan dan yang tidak mendaur (fosil). Khusus untuk pertambangan, sebagian besar tambang yang ada berupa sumber energi, baik yang dimanfaatkan untuk kebutuhan energi sendiri dan/atau untuk tujuan ekspor, meliputi minyak bumi dan barubara. Juga ada tambang batu kapur sebagai bahan baku untuk pabrik semen. Secara umum diperkirakan minimum 1,5 kg batu kapur (biasanya tidak murni) untuk membuat 1 kg semen. Ini berarti akan mengeluarkan emisi berupa gas karbon dioksida sekitar 600g/kg semen. Dapat dihitung berapa besaran emisi yang berasal dari pabrik semen yang saat ini masih beropeasi di Indonesia. Hal ini juga yang menyebabkan rencana pendirian pabrik baru di Jawa Tengah mendapat tantangan penolakan dari berbagai pihak dengan argumen beraneka (antara lain: sebagai emiter, rusaknya tata air bawah tanah, tergusurnya areal budidaya/pemukiman).

Kebakaran Lahan Gambut

Sisi lain pemanfaatan gambut oleh masyarakat, pemegang konsesi, maupun oleh pemerintah sendiri yang sering mengalami kebakaran, baik secara sengaja misalnya dalam rangka penyiapan/pembukaan lahan yang sekaligus menyuburkan tanah, atau dibakar karena konflik atau disuruh bakar oleh pihak tertentu/cukong. dapat juga tidak disengaja karena puntung rokok, pencari ikan yang berkemah yang lupa memadamkan api. Meskipun telah ada peraturan pemerintah yang digunakan sebagai dasar penegakan hukum atas kejadian kebakaran lahan dan hutan/Karhutla (PP nomer 4 tahun 2001), tetapi kasus kebakaran tetap saja belum teratasi, terutama untuk ekosistem gambut. Emisi akibat lahan gambut terbakar jauh lebih besar daripada emisi kebakaran non gambut pada luasan yang sama, karena mencakup kebakaran atas permukaan dan menjalar ke bawah permukaan. Kasus kebakaran gambut pada tahun 1979 misalnya telah menyebabkan Indonesia dituduh sebagai penyumbang emisi karbon dioksida tersbesar ke tiga di dunia setelah Amerika dan Tiongkok. Khusus untuk gambut, kebakaran dapat dikatakan 100 persen akibat ulah manusia, tetapi untuk non gambut dapat saja nilai tersebut lebih rendah, misalnya karhutla yang menyertai aktivitas vulkanik.

Pemerintah bertekat untuk mengurangi pelepasan emisi sebanyak 29 persen pada pertemuan COP Paris 2015 dalam jangka waktu 15 tahun sejak janji tersebut. Nampaknya pencapaian penurunan telah dilaksanakan dengan berbagai kegiatan, anatara lain: meningkatkan sumber energi terbarukan (lsitrik tenaga panas bumi, tenaga air, tenaga matahari?), kendaran bersumber energi listrik, dan pengolahan sampah untuk energi alternatif.

Hal lain yang perlu difikirkan untuk mengurangi emisi yang berasal dari fosil, misalnya adalah:

  1. Pengembangan sumber energi dari sinar matahari, sebagai negara tropis peluang ini sangat besar karena matahari bersinar sepanjang tahun dan telah ada teknologi untuk penyerapan sinar matahari tersebut yang perlu dikemas lanjut agar lebih efektif dan efisien. Pemanfaatan sumber energi fosil, pembuatan pabrik semen baru, dan pelestarian dan pengembangan biota perairan terumbu karang merupakan usaha yang memungkinkan pengurangan emisi rumah kaca dan peningkatan simpanan karbon fosil.
  2. Tidak melanjutkan pembukaan gambut dengan ketebalan lebih dari 3m sesuai dengan peraturan yang berlaku, terutama untuk gambut yang berkubah. Bagi yang terlanjur semestinya ada sistem pengelolaanya yang tidak memungkinkan lahan gambut tersebut terbakar, serta pembatasan waktu pemanfaatan untuk dikembalikan ke hutan alami.
  3. Pencegahan kebakaran gambut lebih utama daripada penanggulangannya, mengingat ketika gambut terbakar sudah meluas, akan sangat sulit memadamkannya dengan sumber air permukaan terdekat yang tersedia, maupun melalui pemadaman melalui udara. Karhutla selama ini dipermasalahkan sebagai pengeluaran emisi yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam rangka penyiapan lahan untuk budidaya, tetapi ada juga pembakaran untuk tujuan panen atau produksi (massal tobong gamping) yang sangat terkendali dan hanya di lingkungan sendiri, semestinya ini bukan karhutla yang dimaksudkan dalam aturan perundangan.
  4. Restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove agar lebih diintensifkan, terutama ekosistem gambut berbasis neraca air pada suatu Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dengan melibatkan semua pemangku kepentingan di KHG tersebut. Untuk mangrove juga perlu ditingkatkan mengingat proses abrasi, rob, dan kesuburan wilayah lepas dapat kembali seperti sebelum rusaknya ekosistem mangrove ini. Hanya masih diragukan apakah benar simpanan karbon bawah permukaan hutan mangrove into lebih banyak daripada tajuk sampai system perakaran yang ada di atas lumpur laut. Mengingat bahan organik tanah akan mengalami disperlsi dan larut bila tersapu air laut, seperti halnya tanah gambut yang merupakan sisa bahan organik sukar lapuk, bila terkena abrasi atau rob, masuk ke dalam air laut akan larut, bukan mengendap di dasar laut seperti kejadian di tanah min

Semua hal yang disebutkan di atas hanya akan terlaksana bila ada kemauan dari semua para pihak, baik dari penguasa (legistlatif, eksekutif, dan yudikatif), pemegang hak dan masyarakat yang intinya tidak mendurhakai alam yang punya daya sangga. Jaga daya sangga alam, alam akan jaga kita.

Yogyakarta, Agustus 2021

Prof. Em. Dr. Azwar Maas, MSc.
Pedolog, Faperta UGM

Baca Juga: