YOGYAKARTA - Di kala kasus pelecehan seksual yang disertai dengan sulitnya akses advokasi hukum terhadap korban marak terjadi di lembaga pendidikan, pemerintah bergerak aktif dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permen Dikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Menanggapi dikeluarkannya Permendikbudristek 30 tersebut, Muhammadiyah Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah sepakat dengan tujuan Pemerintah melawan aksi kekerasan seksual.
Akan tetapi, Muhammadiyah lewat siaran pers Majelis Diktilitbang tertanggal 8 November 2021 itu mendesak agar pemerintah segera memperbaiki Permendikbud 30. Perminataan dilakukan karena Majelis Diktilitbang mendapati kecacatan formil dan materiil, yang sayangnya disalahpahami oleh berbagai kalangan sebagai aksi kontraproduktif terhadap perlindungan kekerasan seksual.
Tidak Benar Muhammadiyah Mendukung Asusila, Pelecehan dan Kekerasan Seksual
Pada Selasa, (9/11) Sekretaris Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sayuti menegaskan bahwa Muhammadiyah telah jauh-jauh hari berkomitmen melawan aksi kekerasan seksual di 166 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan 'Aisyiyah di seluruh Indonesia.
"Banyak pertanyaan apakah siaran pers itu bermakna bahwa Muhammadiyah itu mendukung kekerasan seksual? Tentu itu tidak benar. Kami mempermasalahkan Permendikbud karena ada problem formil dan materiil di dalamnya," kata Sayuti.
Sandungan paling krusial bagi Muhammadiyah dalam menerima Permendikbud 30 adalah kalimat di dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa "tanpa persetujuan korban" sehingga mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada "persetujuan korban (consent)".
Atau dengan kata lain, Permendikbud 30 mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Alasan inilah yang mendorong Diktilitbang PP Muhammadiyah menolak pengesahan Permendikbud 30 dan meminta pemerintah untuk segera mencabut dan memperbaikinya.
"Konteks relasi seksual yang tidak Islami (di luar pernikahan) apapun bentuknya itu tidak kemudian begitu ada persetujuan korban menjadi benar. Tetap gak benar. Itu faktor materiil terpenting kenapa kami dengan diskusi yang intensif menolak Permen ini," imbuh Sayuti.
"Kalimat, frasa 'tanpa persetujuan' korban itu menurut kami mendegradasi Permen itu sendiri bahwa menjadi bisa dibenarkan apabila ada persetujuan korban. Itu yang menjadi penting untuk kami catat," tegasnya.
Permendikbud 30 Kontraproduktif dengan Iklim Perguruan Tinggi Muhammadiyah
Meski Muhammadiyah adalah organisasi masyarakat keagamaan, Muhammadiyah telah satu abad lebih meringankan kewajiban negara dalam mencerdaskan anak bangsa. Dari 166 Perguruan Tinggi yang dimiliki, tak sedikit kampus Muhammadiyah unggul di skala internasional.
Di seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah itu, Muhammadiyah memiliki komitmen menghindarkan mahasiswa dari seks bebas dan berbagai turunannya yang dimasukkan dalam kerangka kurikulum Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK).
"Perlu menjadi catatan semua pihak bahwa di sistem Pendidikan Tinggi Muhammadiyah itu ada 8 SKS Al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang itu juga didukung dengan buku adab Mahasiswa Muhammadiyah, kegiatan Baitul Arqam dan lain-lain itu adalah dalam rangka, agar sistem pendidikan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan 'Aisyiyah itu bebas dari relasi seksual yang haram, yang tidak seperti ajaran Islam tentu juga sama dengan agama-agama yang lain tidak ada yang menyetujui relasi seksual di luar framework rumah tangga atu pernikahan," kata Sayuti.
"Tapi komitmen Muhammadiyah sebagaimana di butir 1 siaran pers itu bahwa Islam sudah sangat lengkap mengatur relasi yang bermartabat, relasi yang adil, relasi yang halal antara lawan jenis itu jelas, sangat jelas. Apalagi Al-Isra' ayat 32 wa la taqrabu zina sehingga kami meminta bahwa Permen ini diperbaiki bukan berarti kami menolak semua ikhtiar untuk mengatasi kekerasan seksual dan kami sudah melakukannya," tegas Sayuti.
Ada Atau Tidak Adanya Permendikbud, Muhammadiyah Tetap Konsen Lawan Pelecehan Seksual
Alasan lain Muhammadiyah menolak Permendikbud 30 menurut Sayuti karena cacat formil. Kecacatan itu antara lain tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya sebagaimana diatur oleh Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.Kedua, Permendikud 30 tidak tertib materi muatan.
Terlebih lagi, Permendikbud 30 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi."Satgas itu bagi kami menciderai spirit Undang-Undang Perguruan Tinggi bahwa ada otonomi kampus. Di kampus ada rektor, wakil rektor, di Muhammadiyah ada lembaga AIK, di Muhammadiyah perilaku (asusila) itu pasti jadi catatan yang buruk bagi dosen, pendidik, maupun mahasiswa karena kita punya beberapa kasus yang kita berhentikan dosennya, kita skors dan lain-lain di kampus-kampus Muhammadiyah itu sudah terjadi," ungkap Sayuti.
Lebih jauh, Sayuti menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak bertoleransi terhadap segala tindakan pelecehan seksual. Penolakan Muhammadiyah terhadap Permendikbud 30 menurutnya tidak akan mengubah sikap Muhammadiyah terhadap aksi asusila di lingkungan pendidikan tinggi.
"Kita mengkritisi dan menolak Permen yang bermasalah dari sisi formil dan materiil tapi tentu kita sepakat sebagai reminder bagi kami bahwa usaha-usaha ikhtiar untuk mencegah, mendidik mahasiswa, termasuk kalau terjadi menghukum pelakunya itu tidak ada kompromi di situ. Kami harus terus menegakkan itu dari nilai-nilai yang sangat penting itu," ujarnya.
"Yang tentu karena Muhammadiyah dijiwai, dimoderasi dan kampus-kampus Muhammadiyah bagian dari dakwah Islam, tentu kita ada dan tidak nya Permen ini, kita berkomitmen untuk menjadikan kampus-kampus Muhammadiyah bebas dari relasi seksual di luar framework pernikahan, di luar framework halal di luar pernikahan, jadi tidak berarti kita menolak," pungkas Sayuti.