>> IMF mesti bertanggung jawab atas formula obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI.

>> Anggaran negara yang defisit sekarang ini karena habis untuk konsumsi dan impor.

JAKARTA - Sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan penerima Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak selalu defisit. Lagi pula, beban bunga obligasi rekap sekitar 400 triliun rupiah dapat dialihkan untuk program peningkatan produksi nasional yang mempunyai muatan lokal tinggi.

Kepala Peneliti Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan kondisi dunia usaha sekarang seperti sapi perah kurus yang jika diperas habis-habisan tidak menghasilkan apa-apa sehingga mesti segera dibantu dengan bantuan dana. Untuk itu, moratorium pembayaran bunga obligasi rekap eks BLBI selama 7 tahun dapat menguatkan perekonomian nasional. Sebab, dana bunga utang itu dialihkan untuk pembangunan yang produktif.

"Sebanyak 400 triliun rupiah itu kalau digunakan untuk kegiatan yang produktif akan berlipat ganda, hasilnya akan tiga kali lipat. Kuncinya jangan boros, gunakan untuk produksi terutama pertanian dan infrastruktur pertanian," katanya saat dihubungi, Jumat (21/2).

Seperti diketahui, beban bunga sekitar 400 triliun rupiah itu terus bertambah setiap tahun, karena eksponensial. Jadi, kalau pembayaran tidak dihentikan, APBN bisa kolaps.

Menurut Badiul, setiap 400 triliun rupiah yang tidak dibayarkan untuk bunga obligasi rekap, dalam tiap tahun akan berlipat ganda. Demikian juga yang 400 triliun rupiah kedua dan seterusnya. "Jika ini dilakukan, sudah berapa besar yang bisa dihemat," ujarnya.

Dijelaskan, dana 400 triliun rupiah yang tidak dibayarkan itu untuk pembangunan bukan untuk konsumsi dan juga harus dicegah agar tidak korupsi.

Badiul Hadi mengatakan Indonesia jangan menunggu sampai seperti Argentina yang tidak mampu mencicil utang. Sebab, kalau sudah kesulitan anggaran tidak akan ada lagi yang akan memberikan utang.

Diperoleh informasi, Dana Moneter Internasional (IMF) mengakui bahwa moratorium satu-satunya jalan untuk menyehatkan keuangan negara. Namun, IMF juga harus bertanggung jawab atas formula yang diberikan di masa lalu sehingga Indonesia terbebani utang. Kementerian Keuangan melaporkan, utang pemerintah per Januari 2020 sudah mencapai 4.817,6 triliun rupiah.

Tidak Ada Anggaran

Sementara itu, ekonom Universitas Airlangga Surabaya, Mohammad Nasih, mengatakan pemerintah mesti memberikan stimulus berupa dana kepada sektor riil agar terbangun produksi nasional yang produktif sehingga menghasilkan pendapatan negara. "Apa yang terjadi sekarang, karena tidak ada uang. Dana habis untuk konsumsi dari orang asing atau digunakan untuk impor," ujarnya.

Menurur Nasih, kalau mengandalkan impor, pemerintah hanya mendapatkan pajak pendapatan nilai (PPN) sebesar 10 persen. Tapi, kalau anggaran impor digunakan untuk produksi dalam negeri, dana yang ada akan berputar ratusan kali dan pemerintah mendapatkan pajak berkali-kali. "Kemudian, kalau hasil produksinya kita ekspor, kita akan mendapatkan devisa yang jumlahnya akan tinggi dari FDI (investasi langsung), karena itu uang kita. Kalau FDI kan uang asing yang ditempatkan di Indonesia," paparnya.

Nasih menegaskan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menghentikan impor. Ini penting, agar ketahanan pangan Indonesia menjadi kuat. "Uang dari mana untuk naikkan produksi, ya dari uang untuk impor. Artinya, kita harus bicara meningkatkan produksi nasional. Jangan seperti menteri yang bilang produksi kurang kita harus impor," katanya.

Sebelumnya, Ekonom UII Yogyakarta, Suharto, mengatakan para pengusaha menanggung pajak ada batasnya. Sekarang saja, keuntungan pengusaha sudah pas-pasan. Kalau dipajaki lagi, akhirnya terjadi pemutusan hubungan kerja, lalu usahanya tutup. Padahal, untuk menghidupkan perusahaan yang sudah mati paling sulit. "Nah, agar dunia usaha tidak bangkrut, pemerintah harus membantunya dengan keringanan-keringanan sehingga pengusaha bisa menghasilkan pendapatan tinggi lagi," katanya.

Pengamat sosial ekonomi dari Kaukus Muda Indonesia, Edi Humaidi, mengusulkan agar otoritas moneter membuat instrumen "money supply" untuk disalurkan ke sektor yang produktif. Caranya, bantuan diberikan kepada industri yang mempunyai muatan lokal 70 persen. Bisa juga untuk industri yang muatan lokalnya minimal 50 persen, tapi sangat strategis. n uyo/SB/YK/AR-2

Baca Juga: