Oleh: Romli Atmasasmita

Kondisi terkini dalam penegakan hukum pidana di Indonesia yang memperihatinkan kita semua karena praktik suap dan korupsi melalui "perdagangan perkara" baik pada tahap penyidikan dan sidang pengadilan pertama sampai dengan Mahkamah Agung (MA) sejak kasus Sekjen MA, N, dan terkini dua orang Hakim MA serta staf dan paniteranya tidak berkurang.

Peraturan Kode Etik dan UU Anti KKN, UU Anti Korupsi dipetkuat UU Anti Pencucian Uang telah diberlakukan, namun itu semua hanya "the law in the textbook" tidak efektif dan efisien dalam praktik "the law in action" sehingga memandulkan efek jera. Perkembangan dan pertumbuhan hukum sebagai norma tingkah laku diawali sejak ratusan abad yang lampau ketika bangsa-bangsa masih terbelah dalam suku-suku dengan kebiasaan dan adat istiadatnya.

Perkembangan hukum dari aspek sejarah selalu tumbuh dan melekat dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya telah diakui para ahli khusus ahli sosiologi, ahli antropologi dan terutama ahli hukum sejak Von Savigny menyatakan pendiriannya, dalam ungkapan, das recht wird nicht gemacht est is und wird mit dem volke (1779); hukum tidak perlu dibuat karena ia akan tumbuh sendiri bersama masyarakatnya. Pernyataan Savigny cocok dengan kenyataan kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang sejak pertumbuhan bangsa berakar pada hukum adat setempat jauh sebelum penjajahan Belanda; penjajahan tersebut telah mengubah pemikiran masyarakat tentang hukum, semula berpedoman pada hukum adat( hukum tidak tertulis) - unwritten laws - berubah kepada paham legisme di mana kehidupan manusia harus berpedoman kepada hukum tertulis - written laws.

Baik di dalam pembentukan hukum tidak tertulis maupun yang tertulis sejatinya telah dikandung unsur moral/ kesusilaan masyarakatnya tentang baik dan benar; tercela atau tidak tercela. Perbedaan hakiki terletak relativitas tentang konsep dan makna kesusilaan/ moralitas yang telah dijadikan "internal guiding principles" masyarakatnya.

Bagi sebagian besar masyarakat/ bangsa barat, apa yang boleh dilakukan dan tidak tabu, pada bangsa/ masyarakat timur sebaliknya, contoh hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan perkawinan dan pergaulan seks bebas. Dalam konteks moralitas hukum pidana terkait efektivitas dan efisiensi hukuman (punishment) telah dilakukan mulai dari pendekatan agamis, penjeraan sampai pengucilan dan perlindungan hak asasi manusia.

Namun, semuanya tanpa hasil memadai sehingga pendapat bahwa di dalam kehidupan masyarakat selalu ada kejahatan benar adanya. Keinginan manusia untuk hidup damai, tentram dan sejahtera selalu berbanding terbalik dengan hadirnya kejahatan di tengah kehidupan manusia, tidak ada yang luput daripadanya.

Ungkapan Cesare Lombroso (1830), seorang ahli antropologi, bahwa manusia dilahirkan sebagai penjahat; laki-laki sebagai perampok, perempuan sebagai pelacur bukan omong kosong belaka. Kehadiran ilmu pengetahuan yang selalu mendorong keingintahuan manusia untuk meneliti seluk-beluk kehidupan alam semesta yang selalu dipertanyakan tentang asal mula manusia dan implikasinya terhadap kehidupan sesamanya berimbas kepada dirinya, telah mendorong kemajuan ilmu-ilmu (social sciences).

Dalam pencarian tersebut, keyakinan akan kekuatan ilmu pengetahuan sering melebihi keyakinan beberapa ilmuwan terkenal dalam bidang science, terhadap keyakinan kepada Tuhan Maha Kuasa sebagai Pencipta alam semesta dengan segala isinya.

Munculnya Charles Darwin tentang asal-usul manusia dari kera, dan Cesare Lombroso tentang "Man is borned criminal" mencerminkan keangkuhan dan kelebihan manusia melebihi Sang Pencipta. Pengaruh teori-teori tersebut bukan tidak nyata. Seorang ahli filsafat hukum, Oliver Wendell Holmes, mengatakan bahwa untuk mendalami hukum sejatinya harus belajar dari penjahat; pendapat ekstrem yang mencerminkan bahwa ilmuwan khususnya hukum, sejatinya tidak memahami hukum; makna, penyebab, dan implikasinya terhadap kehidupan manusia. Hal sedemikian seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari angggota Apgakum (aparat penegak hukum) termasuk hakim sehingga tidak keliru jika di semester awal Pendidikan Hukum telah diajarkan mata kuliah antropologi dan sosiologi serta kriminologi.

Sejarah hukum sejak terjadi revolusi keilmuan yang menentang pengaruh ajaran agama pada pertengahan abad 19 telah menuai hasilnya pada abad ini, bahkan hari ini karena sejak terbentuknya negara-bangsa (nation-state), pengaruh ajaran agama serta fungsi dan peranannya dalam ikut serta membangun pemerintahan sama sekali tidak dipertimbangkan.

Peralihan atau pengambilalihan kekuasaan pemerintahan dari pemuka agama oleh politisi negara telah berlangsung lebih dari 50 abad lampau, sehingga dalam ilmu hukum buatan manusia hanya mengandalkan apa yang menurut moral masyarakat adalah benar.

Roscou Pound, ahli botani dan juga ahli filsafat Amerika abad 19, menegaskan bahwa kekuatan norma buatan manusia sejatinya dipengaruhi moral, agama, dan lebih fokus pada kenyataan yang terjadi di sekelilingnya. Pendapat Pound kiranya cocok dengan pandangan tradisional masyarakat Indonesia bahwa kekuatan hukum terletak pada nilai-nilai (values) moral masyarakatnya yang masih berpegang pada nilai agama, panutan, dan adat istiadat masyarakatnya.

Moralitas dan Hukum

Sejalan dengan pendapat Lord Patrick Devlin, ahli hukum Inggeris dalam perdebatan kaitan saling pengaruh antara moralitas dan hukum telah mengemukakan bahwa nilai moral adalah fondasi hukum di dalam mengatur kehidupan manusia; hampir dipastikan bahwa manusia yang tidak memahami dan berpegang teguh pada etik dan moral maka manusia itu sesungguhnya tidak memahami bahkan tidak memuliakan hukum.

Sulit dipercaya adanya pemahaman bahkan telah menjadi suatu aturan bahwa pelanggaran hukum dipandang tidak secara implisit merupakan pelanggaran etika; sejatinya adalah pelangggaran hukum serta-merta secara implisit dan eksplisit adalah pelanggaran etika.

Ketika kita masih memisahkan antara etika, moral, dan hukum dalam kehidupan kita maka seketika itu manusia berhukum hanya mengenal dan mengakui hukum merupakan norma UU bukan norma hukum karena norma hukum sangat memerlukan kehadiran etika. Bisa dibayangkan jika kehidupan manusia yang berhukum tanpa memuliakan etika. Bagaimana dengan rasa malu (feeling ashamed)? Rasa malu hanya tertanam pada manusia yang beretika, memuliakan etika dan dengan sendiri bisa dan mampu menjadi pemimpin dalam manusia berhukum-zero tolerance to violation of law. Semua peristiwa pelanggaran hukum yang terjadi di sekeliling kita, terlepas dari status sosialnya dalam masyarakat, sesungguhnya adalah parasit kehidupan masyarakat untuk mencapai cita kepastian hukum yang adil dan persamaan di muka hukum bagi setiap orang.

Baca Juga: