» IMF memperkirakan ekonomi global akan melambat dari 3,4 persen pada 2022, menjadi 2,8 persen di 2023.

» Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus makin efisien dan mendorong daya saing.

JAKARTA - Momentum penguatan pemulihan ekonomi global pada awal tahun kini meredup karena dipengaruhi gejolak di sektor keuangan Amerika Serikat (AS) dan Eropa serta tekanan inflasi yang persisten tinggi.

Meredupnya pemulihan ekonomi dunia itu juga terlihat dari proyeksi yang disampaikan Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini yang memperkirakan ekonomi global akan melambat dari 3,4 persen pada 2022, menjadi 2,8 persen pada 2023. Proyeksi tersebut juga lebih rendah 0,1 persen dibanding proyeksi IMF pada Januari 2023 di level 2,9 persen.

Kepala Badan kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Nathan Kacaribu, baru-baru ini mengatakan proyeksi inflasi global pada 2023-2024 juga naik 0,4 dan 0,6 persen menjadi 7,0 persen dan 4,9 persen.

Untuk menghadapi berbagai ketidakpastian ekonomi global tersebut, pemerintah berkomitmen melanjutkan berbagai kebijakan yang prudent, namun tetap suportif dalam penguatan fondasi ekonomi.

Pemerintah juga akan terus menjalankan kebijakan yang antisipatif dalam menghadapi turbulensi perekonomian global dengan tetap mengawal rencana pembangunan jangka menengah-panjang, antara lain melalui melalui reformasi struktural.

Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan sejak awal 2023, pemerintah sebetulnya telah menyadari bahwa awan hitam masih menghantui ekonomi global yang belakangan ini kembali bakal meredup akibat berkepanjangannya gejolak keuangan di Amerika dan Eropa serta tingkat inflasi yang tampak resisten terhadap kebijakan anti-inflasi.

"Sebab itu, harus terus ditingkatkan secara sistematis upaya untuk memperkuat resiliensi ekonomi nasional. Resiliensi harus dipahami tidak hanya sekadar mampu bertahan, tetapi juga mampu melakukan reorientasi ekonomi dan bahkan pembaruan-pembaruan," kata Aloysius.

Pertama, menurut Aloysius, diperlukan keterpaduan sektor industri manufaktur dan ekspor harus diperkuat, termasuk dengan langkah hilirisasi mineral secara konsisten.

Kedua, juga menuntut diversifikasi ekonomi dan ekspor, sembari tetap mengembangkan sektor atau komoditas secara selektif. Ketiga, dari sisi fiskal, defisit perlu dipertahankan di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga bila terpaksa memperbesar defisit sebagai respons terhadap krisis, masih terbuka cukup ruang untuk bermanuver.

"Bersamaan dengan itu, penggunaan anggaran juga harus makin efisien dan mendorong daya saing," jelas Aloysius.

Stabilitas Pangan

Dihubungi pada kesempatan lain, Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan pemerintah harus segera lakukan kebijakan counter cylical melalui penerbitan paket kebijakan karena situasi global bisa memburuk.

Selama dua tahun terakhir, Indonesia masih tertolong oleh booming komoditas ekspor, tetapi begitu prospek pemulihan industri global melemah maka komoditas tidak bisa dijadikan satu-satunya harapan.

Paket kebijakan setidaknya berisi empat poin yakni melanjutkan program bantuan subsidi upah (BSU) untuk mencegah PHK massal, insentif pajak tepat sasaran, menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi dan menjaga stabilitas sektor pangan.

Dari sisi fiskal APBN perlu dilakukan penyesuaian, baik kerangka asumsi makro maupun prioritas belanja.

"Semakin cepat paket kebijakan dirilis maka semakin tebal perlindungan ekonomi Indonesia terhadap ketidakpastian ekonomi global," kata Bhima.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan tren pertumbuhan ekonomi global memang menurun, tetapi Indonesia sedikit unik karena kontributor utama pertumbuhan adalah konsumsi rumah tangga.

Bersamaan dengan perayaan Idul Fitri 1444 H, dia yakin akan terjadi lonjakan konsumsi masyarakat. "Kita tahu konsumsi menyumbang lebih dari 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Dengan kenaikan belanja masyarakat saat ini maka otomatis akan meningkatkan produk domestik bruto," kata Esther.

Dia juga yakin kontribusi konsumsi terhadap PDB yang sempat turun dari biasanya rata rata 55-58 persen, menjadi 52 persen pada kuartal I-2023 akan kembali meningkat saat Lebaran.

Baca Juga: