“Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan sidang-sidang panel dimulai awal Juli. Saat ini masing-masing hakim mendalami perkaranya masing-masing."

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan kembali menggelar sidang pengujian undang-undang mulai awal Juli 2024 usai menangani perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2024 yang berakhir pada 10 Juni 2024.

"Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan sidang-sidang panel dimulai awal Juli. Saat ini masing-masing hakim mendalami perkaranya masing-masing," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih ketika dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (20/6).

Setelah berakhirnya penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pileg 2024, jelas Enny, beberapa hakim konstitusi ada yang menjalankan agenda ke luar negeri untuk giat internasional, seperti lokakarya maupun seminar, dan ada juga yang beristirahat ke daerah masing-masing.

"Semua sudah terjadwal agar para hakim bisa lebih fresh kembali pada waktu menyelesaikan sidang-sidang PUU (pengujian undang-undang)," ujarnya.

Saat ini, ada beberapa permohonan PUU yang diajukan di MK yang sedang menunggu untuk diproses, salah satunya terkait ambang batas usia minimal calon kepala daerah dalam Undang-Undang Pilkada.

Dua mahasiswa yang bernama A. Fahrur Rozi dan Anthony Lee mengajukan permohonan tentang konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) dan 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang mekanisme pencalonan dan syarat batas usia untuk calon gubernur dan wakil gubernur serta untuk calon bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota.

Permohonan itu diterima MK pada tanggal 11 Juni 2024 dan tercatat dalam akta pengajuan permohonan pemohon (AP3) dengan nomor 69/PUU/PAN.MK/AP3/06/2024.

Dalam dalil permohonannya, mereka menilai bahwa putusan tersebut melahirkan dua tafsir yang berbeda terhadap ketentuan pasal tersebut.

Sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang pada intinya mengubah batas minimal usia calon kepala daerah terhitung menjadi sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Sedangkan pada aturan sebelumnya, terhitung sejak penetapan pasangan calon.

Pertentangan itu, kata mereka, mengandung inkonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda dan menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya. Menurut mereka, adanya keraguan dalam implementasi suatu undang-undang akan memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktiknya.

Baca Juga: