Sebagai pengawal demokrasi (the guardians of democracy), MK sudah selayaknya dan seharusnya menolak permohonan pengubahan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup."
YOGYAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan akan mempertahankan sistem pemilu terbuka serta menolak Perkara Nomor 114/PUU/XX/2022 yang memohon sistem pemilu menjadi tertutup. MK akan memutus sidang perkara gugatan Undang-Undang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka itu pada Kamis (15/6).
"Sebagai pengawal demokrasi (the guardians of democracy), MK sudah selayaknya dan seharusnya menolak permohonan pengubahan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup," kata Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Fathul Wahid dalam keterangan tertulis di Yogyakarta, kemarin.
Menurut Fathul, sikap itu selaras dan konsisten dengan Putusan MK Nomor 22/PUU/IV/2008 terdahulu yang menegaskan bahwa dasar penetapan calon terpilih berdasarkan calon yang mendapatkan suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang ditetapkan hanya di internal partai politik (parpol).
"Sistem pemilu terbuka memastikan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat dan pemeliharaan iklim demokrasi terus lestari dan berjalan dengan baik di Indonesia karena akan menjamin bahwa calon wakil rakyat yang terpilih adalah benar-benar pilihan rakyat dan bukan hanya pilihan parpol," kata dia.
Sistem pemilu terbuka, kata dia, akan memperkuat partisipasi dan kontrol publik terhadap wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Partisipasi dan kontrol publik tersebut, menurut Fathul, berangkat dari hubungan antara wakil rakyat dan konstituennya yang merupakan ciri pelaksanaan sistem demokrasi.
"Demokrasi memberikan saluran kepada warga negara untuk berhubungan langsung dengan sumber kewenangan dan kekuasaan politik," kata dia.
Menurut Fathul, MK juga harus mengantisipasi dan memperhatikan dampak besar terhadap perubahan sistem pemilu terbuka menjadi tertutup karena seluruh proses yang telah dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak Juni 2022 sampai dengan Juni 2023 diselenggarakan dengan rujukan sistem pemilu terbuka.
"Perubahan atas sistem tersebut dikhawatirkan akan merobohkan seluruh proses yang telah dibangun KPU selama ini," ucap Fathul.
Oleh karena itu, Rektor UII bersama Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII (HTN FH UII), dan Pusat Studi Hukum KonsFtusi FH UII (PSHK FH UII) mendesak MK untuk menolak Perkara Nomor 114/PUU/XX/2022 dan tetap mempertahankan sistem pemilu terbuka.