Kertanegara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin memperluas kekuasaannya mencakup wilayah Nusantara.

Kertanegara menurut kakawin Pararaton adalah satu-satunya raja Singasari yang naik takhta secara damai. Kertanegara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin memperluas kekuasaannya mencakup wilayah Nusantara.

Dalam kakawin Nagarakertagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Tumapel di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Kerajaan Melayu, Bali, Pahang, Gurun, Sunda, Madura dan Bakulapura.

Untuk mewujudkan ambisi memperluas wilayah kekuasaannya, dilaksanakanlah ekspedisi Pamalayu (Pamalayu bermakna perang Malayu). Tujuannya untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatra sehingga dapat memperkuat pengaruhnya di selat Malaka yang merupakan jalur ekonomi dan politik penting.

Ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia. Pada 1289 misalnya, ia menolak kekuasaan Mongol yang meminta menyerahkan upeti setiap tahunnya. Ia melukai utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Khi dengan memotong salah satu telinganya.

Pada era Kertanegara berkuasa berkembang agama sinkretisme Siwa Buddha. Ia juga yang memerintah pembangunan Candi Jawi sebelum meninggal pada 1292 oleh pasukan pemberontak Bupati Gelang Gelang yaitu Jayakatwang. Prasasti Mula Malurung menyebut ia masih merupakan ipar sekaligus besan dari Kertanegara.

Mendengar kehadiran Jayakatwang, Kertanegara murka dan turut terjun dalam peperangan. Tidak terduga Ia tewas terbunuh oleh beberapa orang yaitu Mpu Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji Angragani, dan Wirakreti.

Mangkatnya Kertanegara menjadi awal bagi keruntuhan Kerajaan Singasari dan juga beberapa wilayah yang berada di bawah kekuasaannya seperti Bali, Gurun, Pahang dan Tanjungpura, yang dikuasai dengan susah payah.

Candi Jawi disebut menjadi tempat ditaburkannya abu dari jenazah Kertanegara yang beragama sinkretisme Siwa Buddha. Pendapat ini mula-mula disampaikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java.

Apa yang disampaikan Raffles diikuti oleh arkeolog J F G Brumund, Conrad Leemans, Pieter Johannes Veth sampai Willem Frederik Stutterheim. Menurut Stutterheim, Candi Jawi adalah monumen pemakaman bagi Raja Kertanegara.

Di candi tersebut kata Stutterheim ini terdapat sumuran atau lubang kecil seperti sumur yang menjadi tempat menguburkan peti batu (peripih). Lokasi sumuran berada di bilik atau ruangan bagian dalam dari candi.

Lalu datas sumuran itu didirikan arca perwujudan raja yang bentuknya disesuaikan dengan agama yang dianut sang raja Siwa Buddha. Kepercayaan yang dianut raja merupakan titisan dewa. Oleh karenanya ketika meninggal akan kembali ke dewa penitisnya.

Sebagai raja yang telah meninggal, rakyatnya tetap dapat berhubungan dengan raja melalui media bangunan suci yang dikenal sebagai candi termasuk Candi Jawi. Selain sebagai tempat suci untuk sembahyang candi juga berfungsi sebagai bangunan suci tempat pemujaan terhadap roh dari raja.

Apabila rakyat ingin mengadakan interaksi dengan raja, diadakan upacara pemujaan di candi. Dengan berputar mengelilingi candi searah jarum jam atau berlawanan jarum jam, harapannya patung dewa yang ada dalam candi akan "hidup" karena arwah sang raja turun dari kahyangan dan hadir dalam upacara.

Namun pendapat candi sebagai tempat makam, ditolak oleh Soekmono salah satu arkeolog dari Indonesia dan pernah memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur pada 1971-1983. Berdasarkan pengalamannya bangunan suci itu tidak pernah menjadi tempat meletakkan abu jenazah raja.

Baginya tidak ada bukti di dalam peripih ada abu jenazah, tidak terkecuali di Candi Jawi. Pasalnya dalam agama Hindu mayatnya dibakar dan abunya dihanyutkan (dilarung) ke laut atau sungai, sehingga kebiasaan menyimpan sebagian atau seluruh abu jenazah di candi atau pura tidak pernah ditemukan. hay/I-1

Baca Juga: