Oleh Nabila Annuria

Bencana kabut asal mulai mengintai lagi. Perlu mitigasi secara totalitas karena risiko kebakaran hutan dan lahan semakin meningkat hingga puncak musim kemarau. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan berdasarkan pantauan satelit Aqua, Terra, dan SNNP dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) terdeteksi 170 titik panas atau hotspot di wilayah Indonesia.

Ini merupakan indikasi serius. Pemerintah daerah harus antisipasi dini cegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama daerah yang kini sudah mulai membara, seperti di Provinsi Aceh. Tak jemu-jemunya Presiden Joko Widodo memerintahkan agar masalah kabut asap dicarikan solusi permanen biar tidak berulang. Bencana asap tahun lalu menyebabkan enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan sangat terganggu. Mereka mengalami kelumpuhan serta kerugian besar. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di beberapa kota sudah pada tingkat sangat berbahaya.

Perlu mitigasi bencana kabut asap yang baik. Akar persoalan kabut asap belum bisa diatasi lantaran masih gagalnya program untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Pemerintah daerah masih lemah menanggulangi kebakaran lahan gambut yang menjadi penyebab utama bencana kabut asap.

Program mitigasi kabut asap oleh pemerintah daerah (pemda) masih lemah dan terlalu menggantungkan pada pemerintah pusat. Hal itu sangat ironis karena sebenarnya provinsi yang menjadi langganan kabut asap sebenarnya daerah memikiki dana cukup untuk melakukan usaha mitigasi dengan metode andal.

Bencana kabut asap sebagian besar disebabkan terbakarnya lahan gambut yang selama ini tidak dikelola dengan baik. Perusakan lahan gambut yang sangat luas menyengsarakan rakyat. Akar penyelesaian darurat asap adalah mitigasi untuk penyelamatan lahan gambut yang setiap saat bisa terbakar hebat.

Mitigasi tersebut melibatkan semua pihak, utamanya masyarakat lokal. Pemerintah daerah belum mampu mencegah perusakan ekosistem hutan gambut akibat perluasan perkebunan sawit dan bahan baku kertas. Hal itu tentunya akan melanggengkan bencana asap.

Penanggulangan

Sistem mitigasi untuk bencana daerah masih amburadul karena tidak siap. Padahal, sudah ada Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU dibuat agar negara bertanggung jawab penuh melindungi rakyat.

Langkah-langkah dasar dalam penanggulangan bencana harus cepat, tepat, koordinatif, transparan, dan akuntabel belum terwujud. Pada prinsipnya tujuan penanggulangan bencana untuk melindungi masyarakat dan membuat langkah-langkah terencana. Mitigasi yang merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran ancaman bencana ternyata masih belum bisa diterapkan pemerintah daerah.

Padahal, kegiatan mitigasi seharusnya secara konsisten diterapkan melalui penataan ruang, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, penyelenggaraan pendidikan, dan pelatihan. Perlu program terpadu antara pusat dan daerah untuk mengatasi akar masalah kabut asap akibat kutukan lahan gambut.

Program tersebut antara lain usaha rewetting atau pembasahan kembali kawasan gambut tropika yang telah terdegradasi agar menghambat kebakaran. Indonesia memiliki lahan gambut 20,6 juta hektare yang merupakan setengah dari luas lahan gambut tropis. Lahan gambut sebenarnya memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai habitat flora fauna yang spesifik bernilai eknonomi tinggi.

Contoh pohon Ramin (Gonystylus Bancanus), Jelutung (Dyera Custulata), Meranti, dan bermacam satwa seperti orang utan dan sebagainya. Selain itu, lahan gambut mempunyai peran penting ekologi dan menyimpan air serta karbon dalam jumlah besar. Sayangnya, peran tersebut kini terganggu agroindustri.

Belum ada kesungguhan dan program yang tepat untuk mengelola dan melestarikan gambut secara tepat dan bijaksana. Program restorasi dan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi selama ini masih ala kadarnya. Hal itu terlihat dengan banyaknya drainase yang dibuat oleh pengusaha yang kurang memperhatikan prinsip ekologis. Adanya drainase tersebut melancarkan kasus pembalakan liar dan menyebabkan lahan gambut mudah terbakar.

Perlu kesadaran bangsa untuk memahami fungsi ekologis hutan gambut mirip gunung yang menjadi mata air beberapa sungai. Gunung menampung dan menyerap air. Ini identik fungsi hutan gambut yang secara geologis berbentuk kubah, seperti kawasan gambut Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Ini digantikan gambut yang memiliki kandungan karbon sangat besar.

Kemampuannya bagaikan busa atau spon raksasa yang bisa menampung dan menyimpan air pada musim hujan lalu melepaskan perlahan di musim kemarau. Itulah peran besar hutan gambut dan rawa sebagai pemasok air tawar.

Rusak

Celakanya, kini terjadi perusakan parah kawasan gambut tropika sehingga kemampuan kawasan sebagai penyimpan dan cadangan air berubah menjadi lahan kering kerontang dan menjelma menjadi bara api yang memproduksi asap menyebar ke mana-mana. Itulah kutukan gambut ketika arah pembangunan begitu serakah mengubah hutan gambut menjadi hutan industri.

Perlu pelestarian dan pengelolaan ekosistem lahan gambut dengan pendekatan sosio ekologis dan penerapan inovasi teknologi irigasi gambut untuk mengairi atau membasahi secara efisien lahan gambut yang kritis agar tidak mudah terbakar di musim kemarau. Selain itu, jaringan pipa irigasi tersebut juga bisa berfungsi mengalirkan debit air untuk keperluan tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan air baku keperluan rumah tangga.

Teknologi pengairan lahan gambut bisa mencontoh Israel yang berhasil menangani kekeringan ekstrem. Israel sering mengalami kekeringan sangat tinggi. Namun, berkat inovasi teknologi pengairan dan sistem monitoring kekeringan yang baik, aktivitas pertanian dan kebutuhan air untuk rumah tangga tercukupi.

Wilayah Israel 95 persen gurun Negev yang sepanjang tahun sangat panas dan kering. Namun, tidak pernah terjadi kebakaran lahan. Kondisi di sana lebih ekstrem dibanding lahan gambut sini. Di daerah tersebut curah hujan rata-rata hanya 280 milimeter tiap tahun. Di Indonesia sebagian besar wilayahnya memiliki curah hujan antara 2.000 dan 3.000 milimeter pertahun.

Praktisi industri kimia, Lulusan Fakultas Sainstek Universitas Airlangga

Baca Juga: