JAKARTA - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemekumham) dinilai lalai dan teledor dalam kasus terbakarnya Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Tangerang pada pukul 01.45 WIB, Rabu (8/9) dinihari, yang menyebabkan 41 warga binaan tewas dan puluhan lainnya terluka.

Sekretaris Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, yang diminta pendapatnya mengatakan Kemenkumham harus mengevaluasi sistem pengamanan di Lapas, mulai dari kapasitas dan pentingnya segera mengatur mitigasi bencana saat muncul kejadian yang tidak terduga (force majeure).

Menurut Anggara, protokol penanganan kondisi bencana untuk Lapas hanya diatur dalam Permenkumham Nomor 33 Tahun 2015 tentang Pengamanan pada Lapas dan Rutan yang kemudian diturunkan dalam SOP Nomor AS.220.OT.02.02.201 tanggal 27 April 2016 tentang Penindakan Bencana Alam.

"Sementara UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak diatur spesifik tentang mitigasi pemasyarakatan dalam keadaan darurat seperti bencana alam," kata Anggara.

Wacana menghadirkan pengaturan kondisi darurat bencana alam, paparnya, baru mengemuka dalam Rancangan UU Pemasyarakatan yang baru. Sesuai dengan prosedur kewenangan pengamanan Rutan dan Lapas dilimpahkan kepada Kalapas dan Karutan, yakni dengan kewenangan membentuk satuan tugas keamanan dan ketertiban yang mencakup pencegahan, penindakan, dan pemulihan.

"Penindakan dalam keadaan tertentu salah satunya dalam keadaan bencana alam, dikoordinasikan oleh Kalapas dan dilaksanakan tim tanggap darurat yang telah mendapatkan pelatihan dan peralatan," katanya.

Sedangkan Pasal 25 Permenkumham, lanjutnya, mengatur alur penindakan dalam keadaan bencana sampai dengan pemulihan, baik dengan sumber daya Lapas sendiri maupun dengan bantuan pihak eskternal. Dalam SOP Nomor AS.220.OT.02.02.20 diatur mengenai proses penindakan tersebut sampai dengan 50 jam setelah terjadinya bencana. Sayangnya, Permenkumham dan SOP tersebut tidak mengatur ketentuan apabila terdapat kemungkinan kaburnya penghuni Lapas.

"Salah satu bentuk evakuasi yang diatur dalam Permenkumham maupun SOP adalah evakuasi ke Lapas atau Rutan lain di sekitar Lapas dan Rutan yang terkena dampak bencana," katanya.

Sementara itu, kebanyakan Lapas saat ini mengalami kelebihan penghuni sehingga overcrowded. Kondisi overcrowded itu memengaruhi kemampuan Lapas melakukan pengamanan, terutama saat keadaaan darurat. Akhirnya, pihak Lapas dalam tugas operasionalnya lebih fokus kepada penanganan yang overcrowded daripada mengatur dan mengoordinasikan protokol apabila terjadi bencana atau kondisi darurat.

Anggara mendesak Kemenkumham mengatur ulang tahapan penindakan dalam kondisi bencana karena Indonesia sering dilanda bencana.

Protokol Penindakan

Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, juga mendesak Kemenkumham segera mengatur protokol penindakan bencana alam secara komprehensif, termasuk mitigasi apabila terjadi masalah darurat di Lapas. Pemerintah harus serius menangani kondisi overcrowded Rutan dan Lapas karena berdampak sistemik, terutama saat terjadi bencana.

Secara terpisah, Menkumham Yasonna Laoly mengatakan dari 41 yang tewas dalam musibah itu, 39 orang warga Indonesia, satu orang warga negara Portugal, dan seorang lagi berkebangsaan Afrika Selatan. Sebagian besar dari korban meninggal adalah warga binaan karena kasus narkoba, hanya satu narapidana kasus pembunuhan dan satu lainnya narapidana terorisme.

Yasona mengakui, sejak dibangun pada 1972, Lapas tersebut belum pernah diperbaiki instalasi listriknya, padahal sudah dilakukan penambahan daya.

Baca Juga: