Komisi Tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia (HAM) atau OHCHR melaporkan 1.000 warga sipil tewas akibat di Ukraina akibat serangan yang dilancarkan Rusia sejak 24 Februari. Bahkan, OHCHR menyebut kemungkinan menyebut jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi dari laporan yang dirilis.

"Sebagian besar korban sipil yang tercatat disebabkan oleh penggunaan senjata peledak dengan area dampak yang luas, termasuk penembakan dari artileri berat dan sistem roket multi-peluncuran, serta serangan rudal dan udara," kata OHCHR, dikutip dari CNN Internasional, Jumat (25/3).

Badan PBB tersebut merinci, terdapat 1.035 kematian warga sipil yang terdiri dari 214 wanita, 90 anak-anak dan 571 orang dewasa yang jenis kelaminnya belum diketahui. Selain itu, setidaknya 1.650 warga sipil terluka akibat serangan yang terjadi sejak 24 Februari lalu.

OHCHR mencatat, 311 warga sipil yang meninggal dan 857 korban luka berada di wilayah Donetsk dan Luhansk, Ukraina Timur. Sementara, di wilayah lain, seperti kota Kyiv, Cherkasy, Chernihiv, Kharkiv, Kherson, Kyiv, Mykolaiv, Odesa, Sumy, Zaporizhzhia, Dnipropetrovsk dan wilayah Zhytomyr, ada 724 warga sipil tewas dan 793 terluka.

"OHCHR percaya bahwa angka sebenarnya jauh lebih tinggi, karena penerimaan informasi dari beberapa lokasi tertunda dan banyak laporan masih menunggu konfirmasi," ujar OHCHR.

Sebagai informasi, Rusia mulai melancarkan invasi ke Ukraina sejak 24 Februari lalu. Meski sudah diadakan beberapa kali perundingan, sejauh ini belum ada jalan keluar untuk kedua negara berdamai.

Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengungkapkan, pembicaraan untuk menghentikan perang dengan Rusia sulit. Bahkan, untuk mencapai perundingan tersebut terkadang konfrontatif.

"Kami melanjutkan pembicaraan di tingkat yang berbeda untuk mendorong Rusia ke arah damai, Delegasi Ukraina berpartisipasi dalam pembicaraan tersebut setiap hari. Itu (negosiasi) sangat sulit, kadang konfrontatif," kata Zelensky, dikutip dari Reuters, Kamis (24/3).

Namun, Zelensky mengakui, sejauh ini proses negosiasi selangkah demi selangkah mengalami kemajuan meski sulit dan penuh konfrontatif.

Baca Juga: