Indonesia telah menjadi negara yang terkenal akan hasil tambangnya. Dunia pertambangan di negara ini bahkan telah menorehkan profil yang luar biasa. Kondisi tektonik dan geologi yang sempurna membawa Indonesia menjadi salah satu produsen komoditas pertambangan terbesar di dunia. Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), Indonesia menempati peringkat ke-6 sebagai negara yang kaya akan sumber daya tambang.

Indonesia bahkan menempati peringkat ketiga sebagai produsen batu bara terbesar di dunia. Mengutip BP Statistical Review 2021, Indonesia berhasil mengalahkan Amerika Serikat dengan jumlah produksi batu bara yang mencapai 565,69 juta ton pada 2020. Padahal, Indonesia hanya menduduki peringkat ketujuh dengan cadangan terbesar di dunia, yakni sekitar 34,87 miliar ton hingga akhir 2020.

Sejak 2016, produksi batu bara di Indonesia juga terus terus mengalami peningkatan, kecuali pada 2020 sebagai imbas dari pandemi Covid-19. Minerba One Data Indonesia (MODI) Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat produksi batu bara pada 2021 bahkan mencapai 610,03 juta ton, naik tiga kali lipat dari jumlah produksi pada 2014 silam. Sementara tahun ini, Indonesia menargetkan produksi batu bara hingga 663 juta ton dengan nilai mencapai 53 miliar dolar AS.

Pada skala daerah, Sumatera Selatan (Sumsel) juga memiliki potensi pertambangan yang tak kalah menarik. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel menuturkan produksi batu bara di provinsi seluas 92 ribu kilometer persegi itu mencapai 50 juta ton pada 2021. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak satu juta ton dibandingkan jumlah produksi pada tahun sebelumnya. Komoditas "emas hitam" itu bahkan digandrungi pasar internasional, di mana 46 juta ton dari total produksi di jual baik ke pasar domestik dan ekspor. Dinas ESDM Sumsel, bahkan memperkirakan produksi batu bara di wilayah itu akan meningkat dibandingkan tahun lalu.

Sayangnya, distribusi batu bara di Sumsel masih terkendala dengan jalur logistik untuk mengangkut batu bara dari areal penambangan ke pelabuhan sungai. Hal ini terjadi lantaran Sebagian besar kegiatan pertambangan Sumsel dilakukan di Lahat, Tanjung Enim dan Musi Rawas Utara, yang berjarak 130 kilometer dari pelabuhan sungai di Lalan, Musi Banyuasin. Kendala inilah yang membuat pemerintah terus mendorong upaya hilirisasi batu bara karena Sumsel digadang-gadang memiliki kandungan batu bara sebanyak 22 miliar ton yang tak habis dalam 100 tahun ke depan.

Minimnya Digitalisasi

Tak hanya di daerah, pada skala nasional Indonesia juga masih menghadapi sejumlah kebuntuan. Indonesia tidak mempunyai teknologi dan manufaktur pertambangan dan industri pemurnian, kecuali di PT Timah. Tak hanya itu, penerapan good mining practice (GMP) juga masih minim khususnya pada industri pertambangan level menengah ke bawah.

Masalah lain hadir dari sifat batu bara itu sendiri yang merupakan jenis kekayaan alam tak terbarukan. Hal ini tentu menjadi poin utama dalam dinamika industri pertambangan, bahwa selain menjadikan energi tersebut sebagai sumber pendapatan, pemerintah harus mampu menemukan sumber energi pengganti ketika sumber energi tersebut mulai mencapai batas akhir. Karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.

Namun tak bisa dipungkiri, industri pertambangan yang dinilai rumit dan identik dengan kapital bisnis yang besar juga membuat generasi muda enggan terjun ke industri pertambangan. Generasi muda cenderung lebih tertarik untuk bekerja di industri digital ketimbang industri-industri yang rumit seperti pertambangan. Padahal, layaknya sektor industri lain, pertambangan juga membutuhkan berbagai terobosan inovasi untuk meningkatkan usahanya. Di negara lain, berbagai Startup dalam industri tambang sudah mulai bermunculan. Pemanfaatan kemajuan teknologi yang terjadi di dunia turut menciptakan rangkaian inovasi yang memudahkan pekerja tambang melakukan pekerjaan mereka dengan lebih efektif dan efisien.

Rasanya Indonesia juga jauh tertinggal dengan negara tetangga, Australia. Di negara Kangguru itu, industri pertambangan juga diwarnai dengan segudang inovasi yang membawa tambang Australia semakin sangar di kancah Internasional. Dengan kemajuan dalam daya komputasi dan data geospasial digital, Startup Australia, Solve Geosolutions kian memudahkan penemuan deposit mineral yang kaya dan berada jauh di dalam bumi. Melalui apa yang mereka sebut sebagai algoritma ML, Solve Geosolutions membantu perusahaan eksplorasi pertambangan di Australia untuk mengidentifikasi deposit mineral dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi.

Seakan berlomba, Startup OreFox yang juga berbasis di Australia bahkan berhasil menciptakan sistem kecerdasan buatan yang mampu memprediksi lokasi deposit emas baru. Berawal dari permintaan untuk menginterogasi database penambangan bersejarah yang besar, Warwick Anderson dan Sheree Burdinat kemudian mencoba menggunakan pembelajaran mesin untuk mengurai data yang akhirnya mengarah pada penciptaan sistem kecerdasan buatan hibrida yang memproses data untuk area eksplorasi klien, dan menghasilkan peta prospektivitas, yang menunjukkan area yang paling mungkin mengandung deposit mineral ekonomis.

Tak mau tertinggal, Esper Satellite Imagery turut membantu eksplorasi dan pemantauan proses pertambangan produsen Australia dengan menyediakan citra hiperspektral untuk mengumpulkan data terperinci komposisi material, deposit bijih di bawah permukaan, dan kualitas air. Solusi Esper membantu operator penambangan melacak kemajuan dan mengumpulkan wawasan berdasarkan data sehingga mampu memfasilitasi pelacakan ekstraksi komoditas harian dan eksplorasi pertambangan.

Tak melulu soal eksplorasi, Startup Australia lainnya Emesent, memanfaatkan Teknologi Simultaneous Localization and Mapping (SLAM), dikombinasikan dengan algoritma Artificial intelligence (AI) dan data LIDAR, yang membantu meningkatkan kualitas pemetaan poros tambang secara langsung juga berkontribusi meningkatkan keselamatan pekerja, lantaran poros tambang terkenal berbahaya akibat kemungkinan runtuhan dan rintangan lain yang mempersulit akses.

Di Indonesia sendiri, holding industri pertambangan MIND ID atau Mining Industry Indonesia yang beranggotakan PT ANTAM Tbk, PT Bukit Asam, PT Freeport Indonesia, PT Inalum dan PT Timah Tbk tengah melakukan tahapan uji coba aplikasi digital untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan air limbah tambang. Aplikasi bernama MasterMine yang sedang dikembangkan itu akan mempermudah kualitas air limbah tambang melalui perubahan dari manual menjadi digital. Dengan MasterMine, diharapkan akan menghasilkan nilai efisiensi 10 sampai 20 persen dari total biaya pengolahan air limbah tambang. MasterMine merupakan aplikasi yang dikembangkan oleh tim POWERxWIT selaku pemenang kompetisi MIND ID Goes Digital tahun 2021. Aplikasi karya anak bangsa itu tengah diujicobakan di PT Bukit Asam Tbk dan diharapkan akan beroperasi penuh pada kuartal keempat tahun ini.

Namun di luar terobosan inovasi tersebut belum menyentuh ranah produksi, inovasi lain dalam industri pertambangan belum begitu mendapat perhatian di Indonesia. Sementara ruang inovasi yang tersedia di industri ini sebenarnya sangat besar untuk bisa dijajaki oleh para inovator Indonesia secara luas. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri, pasalnya usaha pertambangan mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Terlebih, Indonesia memiliki potensi tambang yang sangat besar.

Tak hanya dalam komoditas batu bara, Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) mencatat Indonesia juga mengantongi 8 persen cadangan timah, 4 persen cadangan tembaga, 2,3 persen cadangan emas dunia, serta 6 persen cadangan Bauksit dunia.

Baru-baru ini, Indonesia bahkan digadang-gadang memiliki komoditas langka yang banyak diburu di dunia, yakni logam tanah jarang atau rare earth. Dirjen Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin memaparkan, logam tanah jarang banyak ditemui di Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Kalimantan. Bangka Belitung dikatakan memiliki potensi logam tanah jarang sebesar 186.663 dalam bentuk monasit dan 20.734 logam tanah jarang dalam bentuk senotim. Sementara, Sulawesi Tengah menyimpan sebesar 443 ton dalam bentuk laterit. Kalimantan Barat dan Sumatera Utara juga menyimpan potensi logam tanah jarang dengan masing-masing sebesar 219 ton dan 19.917 ton.

Karenanya, industri pertambangan Indonesia membutuhkan lebih banyak inovasi terobosan dari hulu ke hilir yang tidak hanya berpacu pada aspek teknologi, tapi juga fleksibel, adaptif serta bernilai ekonomis untuk mengoptimalkan potensi minerba yang dimiliki Indonesia. Adapun inovasi itu diharapkan mampu meningkatkan kapasitas produksi, efisiensi operasional dan membuka peluang pendapatan yang baru.

Baca Juga: