Peningkatan literasi keuangan masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan otoritas terkait guna menekan maraknya pinjol yang makin meresahkan.

JAKARTA - Pinjaman online (Pinjol) menjadi fenomena makin merajalela di kalangan masyarakat usia muda. Pinjaman ini sering kali menjanjikan akses cepat dan mudah ke dana tunai tanpa persyaratan rumit.

Namun, seiring dengan perkembangan, juga muncul risiko serius ketika pinjaman tersebut bersifat ilegal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai perlu memperketat administrasi pinjol dari sisi umur hingga data perbankan. Otoritas itu juga perlu menekan bunga pinjol.

Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Indef, Nailul Huda, menuturkan pertumbuhan pinjaman online di tengah masyarakat sangat pesat. Hal ini ditunjukkan dari pertumbuhan pinjaman online yang mencapai 71 persen pada Desember 2022.

Maraknya penggunaan pinjaman online ini, salah satunya disebabkan oleh pola belanja online masyarakat yang meningkat setelah pandemi. "Penduduk usia muda saat ini menjadi incaran perusahaan pinjaman online disebabkan sifat konsumtif yang dimiliki," ungkap Huda dalam diskusi virtual terkait Pinjol dan anak muda, Senin (11/9).

Tercatat Per Juni 2023, pinjaman rata-rata untuk peminjam di bawah usia 19 tahun adalah 2,3 juta rupiah dan untuk peminjam dengan rentang usia 20-34 tahun adalah 2,5 juta rupiah, sedangkan pendapatan rata-rata pemuda (18-34 tahun) di Indonesia sebesar dua juta rupiah per bulan.

"Kondisi ini mengkhawatirkan disebabkan pendapatan pemuda lebih rendah daripada utang di pinjaman online," tuturnya.

Dia meneruskan selain tren pinjaman online yang meningkat, terdapat tren peningkatan pencarian kata kunci judi online di internet. Adanya pergerakan serupa antara pencarian kata kunci pinjaman online dengan judi online diduga bahwa pinjaman online menjadi salah satu sumber dana untuk menutupi utang saat kalah judi.

Karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasi maraknya pinjaman online ilegal. OJK, katanya, perlu memberikan pengetatan administrasi peminjaman pinjaman online dari segi umur, maupun menggunakan data penunjang perbankan.

Kemudian, pemberantasan judi online dan online ilegal dengan membatasi informasi yang masuk ke masyarakat melalui layanan media sosial. "Perlunya memberlakukan program internet sehat dan aman terkait situs-situs merugikan masyarakat menggunakan teknologi," tutur Huda.

Ade Saragih - Country Head - GajiGesa, pihaknya berkomitmen membebaskan individu dari pinjaman berbunga tinggi. Sejak pertama kali didirikan pada 2020, dalam waktu 3 tahun, pihaknya telah membantu 27.863 karyawan keluar dari pinjaman online.

Literasi Rendah

Sementara itu, Peneliti Center of Digital Economy and SMEs - Indef, Izzudin Al Farras menjelaskan maraknya pinjaman online ilegal pada usia muda setidaknya terkait dengan dua aspek, yakni adanya kesenjangan antara tingkat literasi dan inklusi keuangan serta tingginya penetrasi internet di kalangan usia muda.

Pada 2022, Inklusi keuangan mencapai 85,1 persen dan literasi keuangan baru mencapai 49,7 persen. Artinya, terdapat jarak antara inklusi dan literasi keuangan sebesar 35,4 persen. Selain itu, menurut APJII (2023), sebanyak 97,1 persen penduduk berumur 19-34 tahun telah terkoneksi internet.

Menanggapi maraknya pinjol di tengah penduduk usia muda, menurutnya, perlunya strategi menekan bunga pinjaman online legal untuk memberikan disinsentif kepada masyarakat yang ingin menggunakan pinjaman via pinjaman online ilegal. Hal ini disebabkan masyarakat sangat mempertimbangkan tingkat bunga yang rendah pada penawaran pinjaman online.

Kemudian, perlunya satgas yang lebih ramping untuk menindak pinjol ilegal. SWI saat ini terdiri dari 12 K/L. Perlu adanya perampingan satgas yang fokus menindak pinjaman online ilegal yang cukup terdiri dari OJK, Kominfo, Kepolisian, dan Kejaksaan.

Baca Juga: