Di tengah-tengah perang dagang, jika investasi yang masuk hanya untuk eksploitasi pasar dalam negeri maka investasi itu berkualitas rendah.

JAKARTA - Indonesia diharapkan mampu memanfaatkan peluang dari memanasnya kembali tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Salah satu strategi yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan investasi di sektor manufaktur, terutama yang memiliki daya saing dan pasar dunia, dengan menjadi bagian utama dari jaringan rantai global.

Ekonom senior Indef, Didik J Rachbini, mengemukakan globalisasi telah menjadikan Indonesia sebagai sasaran investasi dengan orientasi pasar dalam negeri. Oleh karena itu, serangan terhadap globalisasi ekonomi yang dilakukan Presiden AS, Donald Trump, mesti mengarahkan kebijakan pemerintah Indonesia untuk mendorong investasi yang berorientasi ekspor dan substitusi impor.

"Kita sudah terlalu lama terbebani investasi yang memberatkan neraca berjalan, yang sudah sangat parah, terutama pendapatan primer yang terus mengalami defisit paling besar pada dekade ini," ungkap dia, di Jakarta, Minggu (4/8).

Investasi yang dimaksud adalah investasi yang berorientasi pasar dalam negeri yang membidik peluang pasar besar dari 100 juta kelas menengah Indonesia. Padahal, potensi pasar ini tidak boleh diobral murah kepada investor yang hanya mengincar pasar Indonesia, dan hanya menarik untung yang besar dari pasar di dalam negeri.

Didik menambahkan, sebelum perang dagang, neraca berjalan RI sudah sangat berat, bahkan defisit transaksi berjalan sudah berlangsung sejak 2012. Sumber defisit neraca tersebut tidak lain adalah neraca jasa dan sekarang lebih berat dengan neraca pendapatan primer.

Jika arus modal asing dipenuhi oleh investasi yang mengeksploitasi hanya pasar dalam negeri, maka dampaknya berat terhadap neraca berjalan, terhadap nilai tukar rupiah, terhadap ekonomi sektor luar negeri, dan perekonomian secara keseluruhan rapuh.

Menurut Didik, defisit pendapatan primer sudah sangat besar dan menggunung sampai 30,4 miliar dollar AS. Dari jumlah tersebut, kebanyakan dari defisit pendapatan investasi, modal keluar yurisdiksi ekonomi Indonesia paling tidak sampai 29 miliar dollar AS.

"Di tengah-tengah perang dagang jika investasi yang digadang-gadang hanya untuk eksploitasi pasar dalam negeri maka investasi tersebut berkualitas rendah. Dampaknya terhadap perekonomian bercampur antara positif menyerap tenaga kerja dan produktif menciptakan barang serta jasa, tapi juga berdampak negatif menyedot modal keluar," tukas dia.

Solusinya, pemerintah perlu mendorong dan memberikan insentif terhadap investasi yang produktif berorientasi keluar, daya saing, dan ekspor sehingga berdampak positif terhadap pemupukan devisa dan memperkuat ekonomi sektor luar negeri.

Pada saat yang sama selain menekan defisit jasa dan pendapatan primer, neraca berjalan hanya dapat diperbaiki jika neraca perdagangan mengalami surplus besar seperti pada periode 1980-1990. Neraca perdagangan harus diperbaiki dengan mendorong strategi ekspor yang kuat, serta menahan impor.

Ekonomi Melambat

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan keputusan Presiden Trump menerapkan tarif baru sebesar 10 persen pada produk impor dari Tiongkok senilai 300 miliar dollar AS mulai 1 September nanti, akan semakin meningkatkan ketegangan dagang, dan menambah tekanan bagi ekonomi global.

Menurut dia, Indonesia yang selama ini terkena dampak berupa penurunan kinerja ekspor, bakal semakin tertekan mengingat struktur ekonomi yang lemah, dan beban utang luar negeri pemerintah yang besar. Perlambatan ekonomi yang sudah di depan mata akan membawa RI masuk dalam jebakan utang.

"Perang dagang yang semakin panas akan membuat negara ekonomi kuat seperti AS dan Tiongkok mengalami pelemahan ekspor, konsumsi, investasi, yang akhirnya ekonomi mereka melambat. Ini juga akan dialami negara-negara maju lainnya, seperti Eropa dan Jepang. Apalagi Indonesia yang ekspornya kurang, tentu lebih terpengaruh," jelas Suroso.

Di sisi lain, lanjut dia, bonus demografi yang seharusnya bisa menjadi potensi, tidak mampu menolong. Dengan sifat konsumtif masyatakat Indonesia, potensi ini akan berbalik menjadi jebakan demografi. "Kita akan semakin bergantung dengan utang luar negeri, kalau sudah begitu Indonesia semakin masuk ke dalam debt trap," tukas Suroso. YK/SB/WP

Baca Juga: