Elfren S. Cruz menulis kolom yang menyatakan bahwa ketidaksetaraan pendapatan -bukannya ke miskinan- adalah masalah terbesar di dunia (The Philippine Star, 19 Januari 2017). Pandangan ini mengamini apa yang telah disampaikan Paus Fransiskus sebelumnya, serta didukung para pengamat ekonomi di berbagai belahan bumi.

Dengan demikian tersimpulkan, disparitas-kata lain dari ketimpangan pendapatan- telah menjadi problem universal yang melanda negara-negara diberbagai belahan dunia. Pada masa pra-Depresi Besar (1930), disparitas telah mulai menunjukkan eksistensi secara nyata di beberapa negara. Termasuk di Amerika Serikat, ketidaksetaraan pendapatan juga mendapatkan momentumnya. Tak terhindarkan konflik rentan terjadi dan tentu saja mengancam stabilitas perdamaian.

Berlanjut pada krisis keuangan 2008 yang terjadi disebabkan ketamakan para bankir Wall Street, berhasil menetaskan warga miskin baru. Kerusuhan sangat mudah terpicu kala itu. Masyarakat kulit hitam yang miskin dan tidak punya pekerjaan harus menonton episode kerakusan para manusia tamak. Ketimpangan ini menimbulkan kecemburuan yang teramat mendalam di kalangan kulit hitam. Ketika rasa iri itu mendidih, perpecahan dan kerusuhan rasial tak terelakkan.

Amerika Serikat, sampai sekarang di sana ketimpangan masih ada. Namun perbedaan dulu dengan sekarang, ialah mereka telah melakukan pembelajaran, dan -di sinilah letak kuncinya- terus menjaga porsi kelebaran jurang itu sehingga ketimpangan itu tidak terlihat terlalu mencolok. Isu ketidaksetaraan ekonomi sangat lekat dan relevan dengan konsep keadilan, persamaan kesempatan, dan persamaan hak atas hasil. Pada sekian abad lalu, Ibnu Khaldun mengingatkan, pembangunan tidak dapat dicapai tanpa melalui keadilan.

Jika keadilan tidak diterapkan, itulah yang disebut ketimpangan. Maka harmoni sosial akan terganggu dan berpotensi menimbulkan gejolak di masyarakat. Intinya, ketimpangan merupakan pemicu reaktif yang dapat menyebabkan kerusakan stabilitas sosial. Sekarang kita saksikan segelinir individu menguasai aset-aset besar di dunia. Merilis data karitas Inggris Oxfam pada tahun 2016, delapan orang terkaya sekarang memiliki kekayaan yang sama dengan 50 persen terbawah dari orang-orang paling miskin di dataran bumi ini.

Bayangkan, kekayaan milik 8 orang terkaya didunia sebesar 426,2 miliar dolar AS. Jumlah ini setara dengan kekayaan dari 3,6 miliar warga dunia. Padahal di tahun 2010, kekayaan 3,6 miliar warga dunia masih setara dengan kekayaan 43 orang terkaya didunia. Penurunan jumlah dari 43 menjadi 8 ini menunjukkan ketimpangan di tingkat global kian menganga. Bukti bahwa tidak meratanya distribusi pendapatan. Penyebabnya, telah teridentifikasi yaitu keserakahan.

Jauh sebelumnya, diksi serakah telah diperhalus Adam Smith dengan padanan individualis. Globalisasi selama ini tampil dengan prinsip Adam Smith, yakni menciptakan pemenang dan pecundang dalam arena pertarungan kapitalisme. Maka kita saksikan para pemenang itu, Bill Gates, Amancio Ortega, Warren Buffet, Carlos Slim Helu, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, Larry Ellison, dan Michael Bloomberg.

Namun perlu kita pahami, delapan orang milyuner ini tak dapat disalahkan hanya karena berdasarkan faktor keserakahan. Mereka adalah para petarung yang berhasil merobohkan badai tantangan, dan bijak memetik peluang. Sementara kita ketahui bersama, kodrat serakah telah tertanam dalam diri sejak manusia terlahir ke dunia.

Ketimpangan Indonesia

Perjalanan ekonomi Indonesia menunjukkan tren relatif positif pasca krisis moneter 1997. Namun sayangnya, peningkatan itu tidak diiringi dengan penyempitan jurang ketimpangan. Koefisien gini, skala pengukur ketimpangan terus meningkat dari tahun ke tahun. Per September 2016, koefisien gini bertengger di angka 0,394. Rasio antara 0,4- 0,5 masih dianggap sebagai ketimpangan kategori sedang. Data ini menunjukkan bahwa tren positif ekonomi Indonesia hanya ternikmati oleh kalangan elite dan penguasa belaka.

Menurut laporan Bank Dunia, hanya 20 persen orang Indonesia yang diuntungkan dari pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir. Sementara itu, 80 persen sisanya 205 juta orang masih tertinggal dalam arena keterpurukan. Jumlah miliuner di Indonesia meningkat dari 1 orang (2002) menjadi 20 orang (2016). Kelompok milyarder ini meraup dua pertiga hasil kekayaannya dari praktik bisnis kronisme, yang dimungkinkan karena kedekatan dengan penguasa.

Maka tak perlu heran, Crony Capitalism Index Indonesia bertengger diperingkat ketujuh dunia. Para miliarder dan kalangan elite ini sama sekali tidak peduli dengan terus merebaknya ketimpangan. Sekalipun mereka merasa khawatir juga akhirnya. Orang-orang kaya di Indonesia merasa lebih aman menyimpan dananya di luar negeri.Itulah solusinya menurut mereka. Jadi suatu waktu, bila nantinya kaum yang hidup dalam jerat kemiskinan sebanyak 27,76 juta jiwa itu mencapai klimaks kemarahannya, mereka tinggal landas meninggalkan Indonesia.

Kian waktu, disparitas menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Untuk itu pemerintah harus segera mereduksi ketimpangan. Dengan intinya memerhatikan dan mengatasi faktor-faktor utama yang penyebab ketimpangan, antara lain ketimpangan peluang, ketimpangan pasar kerja, serta pembagian atau konsentrasi kekayaan. Saatnya kekuasaan digunakan untuk kepentingan rakyat banyak, tidak hanya segelintir orang berkepentingan belaka.

Muhammad Husein Heikal, Analis Economic Action (EconAct) Indonesia

Baca Juga: