Oleh: Paulus Mujiran

Sebentar lagi kita telah memasuki tahun 2018 sebagai tahun politik. Kita tinggalkan tahun kerja menuju tahun politik. Sebagai tahun politik warna kegaduhan, intrik politik, saling sikut untuk membangun pencitraan pasti kental terasa. Sebagai tahun politik persahabatan tidak tulus dan jujur karena masing-masing tengah membangun citra diri dan popularitas untuk merebut simpati. Orang melakukan aksi lebih sebagai ajang untuk menarik popularitas dan simpati.

Di tahun politik menjelang pilkada dan pemilu memang susah mencari orang yang benar-benar tulus untuk sesamanya. Semua aktivitas publik lebih dari itu untuk mencari dukungan. Tahun 2018 diwarnai dengan 171 pilkada serentak, baik gubernur maupun bupati/wali kota pada 17 Juni 2018, dan persiapan menuju pemilu presiden dan pemilu legislatif 2019. Persaingan para kandidat yang hendak berlaga sudah terasa sejak sekarang.

Terbayang nuansa persaingan yang ketat. Persaingan yang dalam demokrasi adalah pelumas dalam politik Indonesia mudah menjadi friksi dan gesekan yang memicu dendam. Persaingan adalah wajar namun di Indonesia dengan kedewasaan politik yang dangkal kegaduhan pasti terasa. Apalagi di tengah kegaduhan banyak orang mencari keuntungan dengan mengail di air keruh. Tahun politik begitu terasa kerasnya karena pada saat bersamaan juga menjadi ajang persiapan menuju 2019.

Dinamika politik akan terfokus pada kandidat yang hendak berlaga. Demikian juga dengan partai-partai politik pasti akan menggunakan segala caranya untuk merayu pemilih. Di tahun politik kita akan menyaksikan ribuan wajah calon wakil rakyat baik di tingkat pusat sampai daerah yang posternya mengotori ruang-ruang publik yang berusaha merayu, menggoda, mencari simpati agar diberikan dukungan. Merekapun menyatakan diri pantas dan layak menjadi wakil rakyat.

Ada yang datang dengan ketulusan namun lebih banyak di antaranya yang datang dengan ketidakjujuran, polesan dan wajah menipu karena dipoles dengan sembako dan uang recehan membeli suara rakyat. Mereka dengan segala cara menunjukkan kepada publik lebih baik dan layak untuk dipilih. Bahkan yang sebenarnya tidak kapabel dan kurang mumpuni datang dengan isu SARA dan eksploitasi intoleransi keagamaan. Dengan segala ketidaktulusan dan ketidakjujuran mereka menipu rakyat untuk diberikan dukungan.

Bumbu Politik

Sebagai tahun politik kegaduhan demi kegaduhan boleh saja terjadi sebagai bumbu demokrasi. Bahwa dalam politik ada upaya memenangkan kelompoknya sendiri sah-sah saja sepanjang dijalankan dengan cara-cara yang demokratis pula. Menjadi persoalan ketika aturan-aturan itu dibuat dengan memaksakan kehendak dan mengabaikan aspirasi dari kelompok yang lain. Tahun politik tentu tidak sekedar angka-angka tahun yang berganti melainkan spirit yang mengisi tahun juga harus berubah.

Meski begitu kita berharap, belajar dari tahun politik yang diwarnai kegaduhan demi kekuasaan beralih ke tahun yang santun, saling menghormati dan menghargai sesama. Apa artinya membuat gaduh dan rebut demi kekuasaan? Politik boleh gaduh tetapi dalam suasana yang kondusif. Sudah saatnya politik yang gaduh, hingar bingar, ribut, bising dan penuh dengan nuanasa persaingan berganti menjadi tahun membuat pesta demokrasi yang lebih menyenangkan. Orang boleh bersaing namun lebih semata-mata untuk mencapai tujuan bersama.

Karena itu di tahun politik ini, Pertama, tunjukkan kepada rakyat bahwa berpolitik itu untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat ingin bukti bukan janji. Buktikan bahwa berpolitik bisa dilakukan dengan cara yang santun. Rakyat bisa merasakan kesungguhan kinerja partai politik dan kontestan yang hendak berlaga untuk hal-hal yang kasat mata. Makin lama bermain dalam kancah politik mestinya membuat kian matang dan dewasa. Keteladanan ini penting untuk membuktikan bahwa untuk mencari kekuasaan jangan mengorbankan rakyat.

Kedua, ketika bangsa tengah dirundung beragam persoalan terutama maraknya kasus korupsi, persoalan lingkungan, kemiskinan ajakan untuk hidup sederhana harus menjadi contoh semua kalangan. Berpolitik boleh tetapi membiayai aktivitas politik dengan uang hasil korupsi, manipulasi, suap tidak sesuai dengan etika berpolitik yang cerdas. Kadang seperti ada "pembenar" korupsi boleh asalkan untuk membiayai partai politik yang memperjuangkan kepentingan umum. Bahkan lembaga negara yang terhormat saja dipergunakan membela orang yang korupsi.

Dalam etika bangsa solidaritas mestinya dipergunakan untuk hal-hal yang positif. Solidaritas bukan dipergunakan untuk membela mereka yang salah. Kecerobohan dalam berpolitik di negeri ini karena berbiaya tinggi dan sebagian diantaranya didanai dengan uang korupsi. Tahun politik tidak boleh identik dengan tahun bebas korupsi demi meraih kekuasaan. Korupsi tetap korupsi dan pelakunya harus dihukum sekalipun uangnya dimakan ramai-ramai satu partai.

Ketiga, semua orang bahu-membahu mencapai tujuan bersama dengan cara dan logika yang sehat. Persaingan secara politik harus dilakukan secara sehat dan bertanggung jawab. Hanya orang kurang waras yang mencari konflik dan menggunakan isu SARA untuk meraih kekuasaan. Jika pemimpin tampil dengan isu SARA dan memecah belah rakyat, pada akhirnya mereka sendiri kesulitan untuk mempersatukan.

Jegal menjegal dalam politik tidak lagi relevan sebab rakyat menghendaki para pemimpin lebih fokus mensejahterakan rakyat. Kalau untuk menjadi pemimpin saja sudah korupsi apalagi memainkan isu yang memecah belah persatuan akan jadi apa negeri ini. Pemimpin seperti itu tidak dewasa dalam berpolitik tidak layak untuk dipilih. Jegal menjegal politik akhirnya lebih sebagai ajang kepentingan elit untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan bukan untuk rakyat.

Pendek kata, tahun politik yang gaduh harus kita hindari. Nuansa balas dendam yang dihasilkan tahun politik tidak perlu terjadi. Suasana tahun politik yang penuh persaingan hanya merugikan segenap komponen bangsa. Tahun politik adalah ujian bagi bangsa ini agar seleksi kepemimpinan lima tahunan dilakukan dengan cara yang santun, berbudaya dan beradab! Selamat memasuki tahun politik 2018. Tuhan memberkati kita semua!.Penulis: Paulus Mujiran, peneliti politik The Dijckstra Syndicate Semarang.

Baca Juga: