Tahun Baru telah datang menanti. Kerja dan karya baru bakal silih berganti mengisinya selama setahun ke depan. Optimistis dan percaya diri akan menjadi landasan kuat guna mencapai target yang telah ditetapkan pada tahun 2020. Itulah sebab, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi pada tahun depan tetap di atas 5 persen.

Alasannya, kebijakan pemerintah akan memudahkan investor datang, khususnya membangun manufaktur bernilai tambah tinggi. Diketahui, sektor manufaktur memiliki nilai tambah yang tinggi dan hilirisasi masih potensial digarap dengan mengupayakan teknologi tinggi dan investasi yang besar.

Dengan demikian, tercipta lapangan kerja baru dan perekonomian domestik bisa tumbuh lebih tinggi. Rumusnya pertumbuhan adalah fungsi dari konsumsi, investasi pemerintah, investasi dan ekspor-impor. Bersamaan dengan itu, kebijakan fiskal juga harus terus didorong agar bisa menjadi stimulus. Kebijakan fiskal diarahkan agar proinvestasi untuk industri manufaktur.

Sektor pariwisata juga akan diperbaiki untuk meningkatkan devisa. Hal ini akan berujung untuk mengurangi jumlah defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

Soalnya kemudian, untuk mencapai target 2020, ternyata kinerja 2019 tidak sesuai dengan harapan. Kecuali inflasi, asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 per November 2019 banyak yang tidak capai target, di antaranya pertumbuhan ekonomi hanya 5,02 persen sementara targetnya 5,3 persen.

Ironisnya, pendapatan negara dari pajak tercatat baru mencapai 1.136,17 triliun rupiah. Penerimaan pajak baru tercapai 72,02 persen dari target APBN 2019. Penerimaan pajak sedikit turun 0,04 persen dari tahun 2018 sebesar 1.136,66 triliun rupiah.

Salah satu penyebabnya adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Migas tercatat hanya 52,9 triliun rupiah dari target 66,2 triliun rupiah. Tak cuma itu, utang pemerintah per akhir November 2019 mencapai 4.814,3 triliun rupiah atau naik sebesar 58,18 triliun rupiah dari bulan sebelumnya.

Utang tersebut juga meningkat sebanyak 418,34 triliun rupiah dari periode yang sama pada tahun sebelumnya yang sebesar 4.395,97 triliun rupiah. Sekalipun optimitis, namun tahun depan banyak kendala, terutama terkait penerimaan negara dari pajak. Sementara itu, penerimaan devisa juga masih terbatas karena eksportir masih belum mau menyimpannya di dalam negeri.

Ini pertanda, stimulus maupun intensif yang diberikan pemerintah belum dimanfaatkan optimal oleh kalangan pebisnis. Untuk mengantisipasi ancaman dan tantangan ekonomi Indonesia di tahun 2020, maka penguatan dan pengembangan industri nasional mesti benar-benar fokus. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong tumbuhnya industri hulu, seperti sektor kimia dasar dan logam dasar.

Perlu juga penambahan infrastruktur seperti pelabuhan dan akses jalan yang terintegrasi. Kemudian, meningkatkan utilitas, seperti seperti listrik, air, gas, dan pengolahan limbah di kawasan-kawasan yang diproyeksikan menjadi kawasan industri. Lebih dari itu, menyiapkan sumber daya manusia (SDM) industri yang kompeten melalui pengembangan pendidikan vokasi yang link and match dengan industri. Bahwa kemudian tahun 2020 akan cenderung efisien di segala bidang, mau tak mau harus kita terima.

Betapa tidak, karena kondisi perekonomian sedang terkontraksi. Jika salah penanganan, bisa menuju krisis. Tapi, jika tepat, bakal lolos kemudian berkualitas.

Untuk itu, efisiensi merupakan metode yang paling jitu menghadapi kondisi perekonomian yang dipengaruhi faktor global maupun dalam negeri. Salah satu bukti efisiensi itu adalah merancang perencanaan dan penganggaran sesuai dengan program prioritas sehingga tidak lagi mengalokasikan anggaran berdasarkan unit.

Baca Juga: