Perniagaan yang dilakukan para pelaku usaha baik secara perorangan maupun badan hukum, pada dasarnya berada dalam bingkai hubungan kontraktuil. Melalui kontrak yang dibuat para pihak, hubungan ekonomi terstandarisasi, hak dan kewajiban para pihak menjadi jelas.
Gejolak moneter pada Mei 1998 yang kemudian diikuti krisis ekonomi memberi pembelajaran kepada kita tentang perlunya mempunyai pranata hukum yang mengatur cara penyelesaian utang. Selain itu, krisis moneter juga menyadarkan kepada para pelaku usaha, bahwa suatu perusahaan tidak tertutup kemungkinan mengalami kesulitan keuangan atau tidak mampu membayar utang-utangnya. Oleh karenanya perangkat hukum yang mengatur penyelesaian utang perusahaan sangat urgen bagi kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Pada 22 April 1998 telah diterbitkan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang dalam perkembangannya menjadi Undang Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), bahkan sekarang telah diubah dan disempurnakan menjadi Undang Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disebut UUK).
"UUK merupakan instrumen hukum sebagai perwujudan kebijakan negara dan pemerintah dalam melakukan perubahan tata kehidupan masyarakat. Di samping itu, UUK adalah hukum positif yang mengatur penyelesaian utang di Indonesia," ungkap Ricardo Simanjuntak, pakar hukum kepailitan, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, ada beberapa faktor pendorong perlunya diatur UUK. Pertama, untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya.
"Kedua, untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para pihak kreditor lainnya," jelasnya.
Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan salah satu kreditor atau debitor sendiri.
Selain itu, UUK didasarkan atas beberapa azas, yakni : (1) azas keseimbangan, (2) azas kelangsungan usaha, (3) azas keadilan, dan (4) azas integrasi.
"Jika debitor telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka harta pailit harus dibagi secara adil kepada setiap orang yang berhak atas pemenuhan perikatan individu. Pembagian secara adil mengandung arti bahwa harta kekayaan tersebut harus dibagi secara paripassu prorata. Paripassu maksudnya harta kekayaan tersebut harus dibagikan secara bersama-sama diantara para pihak, sedangkan prorata berarti sesuai dengan besarnya imbangan piutang masing-masing kreditor terhadap utang debitor secara keseluruhan.
Sesuai prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan terjangkau dalam biaya, maka putusan atas permohonan pailit harus dibacakan paling lambat 60 hari setelah tanggal pendaftaran. Selain itu, putusan pernyataan pailit dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uit voerbar bij voerraad). Artinya, putusan tersebut tidak dapat ditunda pelaksanaannya meskipun terhadapnya diajukan upaya hukum baik kasasi maupun peninjauan kembali.
Akibat dari pernyataan pailit, debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit (bodel pailit) sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Sejak itu, harta pailit hanya dapat digunakan demi kepentingan harta pailit dalam rangka pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor secara paripassu prorata.
Ciri khas dalam perkara kepailitan adalah permohonan pailit harus diajukan apabila debitor mempunyai dua kreditor atau lebih. "UUK menentukan setidaknya (minimal) dua kreditor, karena pada dasarnya kepailitan berfungsi untuk mengatur pembagian harta secara adil diantara para kreditor konkuren yang berhak atas pemenuhan perikatan," ungkap Jamaslin James Purba, Ketua Umum Asosiasi Kurator Indonesia (AKPI). ima/R-1
Cabut Gugatan asal Tuntutan Dipenuhi
Pada kasus terkait utang, gugatan terhadap bank asing J Trust akan dicabut nasabahnya jika tuntutan penggugat dipenuhi. Hal itu disampaikan Slamet selaku kuasa hukum Priscillia Georgia selaku pihak penggugat.
Dalam gugatannya, pihaknya meminta J Trust membatalkan cessie serta melakukan ganti rugi sebesar Rp5 miliar dan immateril sebesar Rp25 miliar.
"Kita cabut gugatan apabila dia mau menghapus hutang kita, memutihkan, atau diberikan ganti rugi sebesar Rp2 miliar, dikembalikan asetnya, dan ganti rugi biaya yang dikeluarkan selama ini," kata Slamet di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (27/5).
Dalam mediasi yang dilakukan, pihaknya kembali menyampaikan tuntutan tersebut. Sidang mediasi sendiri akan kembali digelar pada 12 Juni 2019. "Cuma J Trust belum beri jawaban, dia minta waktu," ujarnya.
Sementara itu, internal legal J Trust, Lutfi mengatakan pihaknya akan mempelajari semua tuntutan dari penggugat. "Kita akan pelajari," ujar Lutfi.
Sebagai informasi, gugatan ini berawal saat Priscillia Georgia merasa diperlakukan semena-mena oleh J Trust Bank bersama anak perusahaannya J Trust Invesment Indonesia. Alih-alih restrukturisasi, J Trus Invesment justru meminta dirinya membayar Rp 3,7 miliar cash, atau rumahnya disita dengan konpensasi/uang kerahiman sebesar Rp 50 Juta untuknya.
Padahal, saat dirinya melaksanakan akad kredit rumah pada 2011 dengan Bank Mutiara, tidak pernah melibatkan J Trust Bank apalagi J Trust Investment Indonesia. Akad pun disebut Priscilla dengan skema cicilan Rp 21 juta per bulan.
Dia mengaku tidak mendapatkan pemberitahuan mengenai pelimpahan kredit dari Bank Mutiara yang kolaps kepada J Trust Bank dan J Trust Investment Indonesia atas piutangnya.
Anehnya, meski sudah mencicil utangnya sebesar Rp 300 juta, jumlah piutang Priscilla yang bermula Rp 1,8 miliar membengkak menjadi Rp 3,7 miliar, dan atas dasar itulah dirinya memberanikan diri melayangkan gugatan.
Sebelum melayangkan gugatan guna mempertahankan rumahnya, Priscilla mengaku telah melakukan beberapa itikad baik untuk melunasi utangnya, namun tidak disetujui oleh pihak J Trust.
Priscillia juga mengaku teritimidasi dengan tindakan dan cara-cara J Trust Invesment Indonesia, seperti memasang iklan/plang rumahnya dijual dan mendatangi rumah atau mengirimkan surat tagihan .
Priscillia mengatakan, sebagai perusahaan asing yang bergerak di usaha perbankan, seharusnya J Trust tidak semena-mena terhadap nasabah WNI. Tidak sedikit nasabah menderita hal yang sama. Bedanya nilai yang Priscillia perjuangkan Rp 1,8 miliar, sementara nasabah lain ada yang menyentuh Rp 28-500 miliar. ima/R-1