Judul : Korupsi: Akar, Aktor, dan Locus
Penulis : Leo Agustino & Indah Fitriani
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Juni 2017
Tebal : x + 222 halaman
ISBN : 928-602-229-751-2
Sejak awal kemerdekaan, pemberantasan korupsi sudah dilakukan, terutama ketika Presiden Soekarno mendirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara pada 1959. Setelah itu dibentuk lembaga Panitia Retooling Aparatur Negara (hlm 2-3)
Pada era Orde Baru, berdasarkan Keppres No 228 Tahun 1967 dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi. Kemudian pada masa Presiden BJ Habibie lahir Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, atau Lembaga Ombudsman. Selanjutnya, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Barulah tahun 2002, Presiden Megawati membidani kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mencermati sejarah tersebut, Indonesia mengalami perjalanan panjang dan terjal untuk mewujudkan cita-cita menjadi negara bersih dan bebas korupsi. Berdasarkan data Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2016 naik satu poin ke 37 dari angka tertinggi 100. Tetapi secara global, posisi Indonesia masih di urutan ke-90 dari 176 negara (hlm. 200)
Skor Indonesia ini masih berada di bawah Malaysia (49 poin), Brunei (58), dan Singapura (85). Sementara Indonesia di atas Filipina (35 poin), Thailand (35), Vietnam (33), Myanmar (28), dan Kamboja (21).
Buku ini serasa audit forensik korupsi secara menyeluruh mulai dari akar, aktor, sampai lokasi dan sektor yang rentan terjangkiti penyakit korupsi. Rose-Ackerman, dalam Corruption: A Study in Political Economy (1978), memandang bahwa korupsi disebabkan keserakahan, keperluan, dan peluang. Dalam perspektif berbeda, buku ini membagi jaring korupsi karena akar antropologis, sosiologis (lingkungan, masyarakat dan keluarga), dan ekonomi-politik (hlm 30).
Meminjam pepatah "mati satu tumbuh seribu," pelaku korupsi pun demikian: tertangkap satu tumbuh seribu koruptor. Pelakunya beragam mulai dari menteri, DPR, DPRD, MK, MA, bea cukai, pajak, kepala daerah tingkat, birokrat pusat daerah hingga TNI-polisi (hlm 200).
Buku ini juga mengungkap sektor-sektor yang kerap dijarah. Akan tetapi, secara khusus disorot bidang politik, birokrasi, dan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil. Buku ini tidak hanya mengurai akar, aktor, dan locus korupsi, tetapi juga menawarkan solusi pemberantasannya.
Salah satunya dengan belajar dari negara yang selalu dinobatkan sebagai paling kecil tingkat korupsinya: Denmark, Finlandia, Swedia, dan Selandia Baru. Swedia, misalnya, pada 150-200 tahun yang lalu merupakan negara yang amat korup, tetapi kini justru menjadi salah satu yang paling bersih. Pemberantasan korupsi di Swedia tidak hanya diatasi dengan menangkap dan menghukum pelaku, tetapi dengan membangun kultur dan sistem baru agar perbuatan korupsi disejajarkan dengan pengkhianatan negara (hlm 204).
Diresensi Irham Syaroni, Mahasiswa Program Pascasarjana FIAI Yogyakarta